Selasa, 01 Mei 2012

Adopsi (Attabanni) dalam Islam

Diposting oleh Rifka Fatin Khamamah di 12.39
Adopsi (attabanni) diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri,
Ø  Adopsi dalam Islam dan masyarakat jahiliyah
 Tradisi mengadopsi anak telah terjadi pada zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat. Hal itu pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dengan mengadopsi Zaid bin Haritsah seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah kepada Nabi Saw untuk merawatnya. Lalu karena sayangnya Nabi Saw kepada Zaid, beliau angkat menjadi anaknya sendiri, sehingga nama Zaid dipanggil oleh orang banyak menjadi Zaid bin Muhammad. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Turmuzi dan Nasai, dari Ibnu Umar radhiallahu‘anhu : Tidaklah kami memanggil Zaid bin Harisah melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Tradisi jahiliyah tersebut tidak dibatalkan dalam Islam secara keseluruhan, artinya pengangkatan anak orang lain menjadi seperti anak sendiri tetap dianjurkan dalam Islam, akan tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum adopsi yang berlaku pada masa jahiliyah, antara lain tidak boleh dinisbahkan namanya kepada orang tua angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti mahram (surah. Al-ahzab : 4-5).

Ø  Status Hukum Anak Angkat
Ada dua status hukum yang terkait dengan permasalahan anak angkat.
1.      Dalam Kewarisan
Dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena nasab, perkawinan yang sah, faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya. Anak angkat tidak termasuk kedalamnya, dalam arti bukan satu kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena itu antara dirinya dan orang tua angkatnya itu tidak berhak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dan orangtua kandungnya secara timbal balik.
Namun mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dan orangtua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orangtua angkatnya, maka Islam tidak menutup kemungkinan sama sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orangtua angkatnya. Caranya adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya sebelum meninggal dunia. Ketentuan wasiat untuk Hukum Islam adalah paling banyak sepertiga harta warisan. Dalam hibah dan wasiat tidak ditentukan secara khusus siapa saja yang berhak menerimanya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqas dinyatakan tentang kebolehan wasiat sepertiga dari harta peninggalan.
2.      Dalam Perkawinan
Dalam Islam juga telah diatur siapa saja yang dilarang menikah satu sama lain. Larangan ini hanya berlaku bagi yang memiliki hubungan darah atau satu keluarga dari garis lurus ke atas dan ke bawah serta garis menyamping, termasuk mertua, menantu, dan anak tiri yang ibunya telah digauli oleh anak tirinya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orangtua angkatnya. Oleh karenanya secara timbale balik antara dirinya dan keluarga orang tua angkatnya boleh saling saling kawin dan orangtua angkatnya tidak bisa menjadi wali nikahnya, kecuali kalau memang diwakilkan kepadanya oleh ayah kandungnya, Demikian menurut Fuqaha.

0 komentar on "Adopsi (Attabanni) dalam Islam"

Selasa, 01 Mei 2012

Adopsi (Attabanni) dalam Islam

Adopsi (attabanni) diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri,
Ø  Adopsi dalam Islam dan masyarakat jahiliyah
 Tradisi mengadopsi anak telah terjadi pada zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat. Hal itu pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dengan mengadopsi Zaid bin Haritsah seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah kepada Nabi Saw untuk merawatnya. Lalu karena sayangnya Nabi Saw kepada Zaid, beliau angkat menjadi anaknya sendiri, sehingga nama Zaid dipanggil oleh orang banyak menjadi Zaid bin Muhammad. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Turmuzi dan Nasai, dari Ibnu Umar radhiallahu‘anhu : Tidaklah kami memanggil Zaid bin Harisah melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Tradisi jahiliyah tersebut tidak dibatalkan dalam Islam secara keseluruhan, artinya pengangkatan anak orang lain menjadi seperti anak sendiri tetap dianjurkan dalam Islam, akan tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum adopsi yang berlaku pada masa jahiliyah, antara lain tidak boleh dinisbahkan namanya kepada orang tua angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti mahram (surah. Al-ahzab : 4-5).

Ø  Status Hukum Anak Angkat
Ada dua status hukum yang terkait dengan permasalahan anak angkat.
1.      Dalam Kewarisan
Dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena nasab, perkawinan yang sah, faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya. Anak angkat tidak termasuk kedalamnya, dalam arti bukan satu kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena itu antara dirinya dan orang tua angkatnya itu tidak berhak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dan orangtua kandungnya secara timbal balik.
Namun mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dan orangtua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orangtua angkatnya, maka Islam tidak menutup kemungkinan sama sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orangtua angkatnya. Caranya adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya sebelum meninggal dunia. Ketentuan wasiat untuk Hukum Islam adalah paling banyak sepertiga harta warisan. Dalam hibah dan wasiat tidak ditentukan secara khusus siapa saja yang berhak menerimanya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqas dinyatakan tentang kebolehan wasiat sepertiga dari harta peninggalan.
2.      Dalam Perkawinan
Dalam Islam juga telah diatur siapa saja yang dilarang menikah satu sama lain. Larangan ini hanya berlaku bagi yang memiliki hubungan darah atau satu keluarga dari garis lurus ke atas dan ke bawah serta garis menyamping, termasuk mertua, menantu, dan anak tiri yang ibunya telah digauli oleh anak tirinya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orangtua angkatnya. Oleh karenanya secara timbale balik antara dirinya dan keluarga orang tua angkatnya boleh saling saling kawin dan orangtua angkatnya tidak bisa menjadi wali nikahnya, kecuali kalau memang diwakilkan kepadanya oleh ayah kandungnya, Demikian menurut Fuqaha.

0 komentar:

 

Rifkaaa Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez