BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Alhamdulillahi robbil
‘alamin washolatu wassalamu ‘ala asyrofil anbiya wal mursalin sayyidina wa
maulana muhammadinil awwalin wa’ala alihi wa ashabihi ajma’in amma ba’du.
Segala puji bagi Allah
dengan rahmat-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah yang Tafsir Ibn Arobi
dalam Surat An-Nisa ayat 34-45 ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun sebagai sarana pengalaman dan pengetahuan serta untuk teman- teman
semua yang membacanya. Amin.
Pada
pembahasan makalah kali ini akan dibahas rumusan masalah diantaranya:
a. Terjemah dan tafsir QS. An-Nisa :34-35
b. Metode
Penafsiran, Asbab An-Nuzul, Kandungan Hukum
c. Pembahasan
mengenai nusyuz, syiqaq, tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi nusyuz
dan syiqaq, dan akibat hukum nusyuz dan syiqaq dalam perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
Ø Terjemah
Ø QS. An-Nisa : 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.”
Ø QS. An-Nisa : 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.”
Ø Metode Penafsiran
Ahkam
Al-qur’an, kitab ini terdiri atas empat jilid dengan tebal 2.159 halaman, ini
merupakan karya menumental Abu Bakar Muhammad Bin Abdillah, yang lazim dikenal
dengan sebutan Ibn Arabi. Kitab Ahkam Al-Qur’an ini menafsirkan sekitar 767
ayat hukum dari 114 surat yang ada dalam Al-Qur’an.
Ibn
Arabi yang bermadzhab Maliki, sangat obyektif dan sportif dalam membanding-
bandingkan berbagi pendapat para ulama mengenai suatu persoalan. Beliau tidak
terlalu fanatik kepadanya madzhabnya sendiri, dan tidak begitu mudah
menyalahkan pendirian orang lainyang berbeda pendapat dengannya.
Kitab
Ahkam al-Qur’an karya Ibn Arabi merupakan salah satu kitab tafsir ahkam yang
berkualitas. Karenanya, tidaklah mengherankan jika mufassir al-Qurtubi banyak
merujuk atau mengutip kepada tafsir Ibn Arabi. Perujukan ini bukan karena
bersamaan madzhab yang dianutnya, melainkan lebih disebabkan nilai ilmiahnya
yang dianggap tinggi olehnya.Lebih dari itu, dalam beberapa hal terdapat
kemiripan antara penafsiran Ibn Arabi dengan Tafsir Al-Qurtubi.[1]
Gaya
penafsiran yang ditempuh Ibn Arabi memang berfariasi. Adakalanya setelah
menulis ayat, beliau mengutip hadits NAbi Muhammad SAW. Yang mendukung atau
senafas dengan ayat yang dibahas. Kemudian Ibn Arabi mengulas ayat dan hadits
tersebut seperlunya. Gaya lain yang paling banyak dilakukan Ibn Arabi dalam
menafsirkan ayat hukum ialah cukup dengan mengedepankan beberapa masalah pokok
yang terkandung dalam ayat yang bersangkutan. Kemudian masing- masing masalah
yang dia sebut diuraikannya satu persatu. Dalam menguraikan masalah itu,
adakalanya dia mendekatinya dari sudut pandang kebahasaan, dan adakalanya
menggunakan pendekatan tafsir bi al-riwayah yakni dengan mengutip hadits-
hadits Nabi Muhammad SAW.
Ø Asbab An-Nuzul
Diceritakan
dari Hasan beliau berkata : “Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW lalu
berkata : “Sesungguhnya suamiku telah
menampar mukaku,” lalu Nabi
bersabda, ‘Diberlakukan qishash di antara
kalian.’ Lalu Allah menurunkan ayat :
............( 114 : Thaha.QS)
“Dan
janganlah engkau (Muhammad) tergesa- gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum
diwahyukan kepadamu……”
Jabir Bin Khazm berkata : “Saya mendengar
Hasan membacanya : “ mãômur ” dengan menashabkan ya’ pada “wahyah”
Sedangkan Hajjaj
berkata : “Kemudian Nabi SAW menahan sebentar hingga turun ayat :
"Arrijaalu qawwaamuna 'alannisa......."
Ø Kandungan Hukum
·
Definisi
Nusyuz dan Syiqaq
Nusyuz
pada asalnya berarti “terangkat” atau tertinggi. Seorang perempuan yang keluar
meninggalkan rumah dan tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan
menganggap ia lebih tinggi dari suaminya, singkat kata yaitu istri yang durhaka
pada suaminya.
Secara bahasa, nusyuz berarti
penentangan. Sedangkan istilah, Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar
dari ketaatan kepada suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah
diperintahkan kepadanya, seperti: tidak memenuhi kebutuhan biologis suami,
tidak menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak disukai dan menyebabkan suami
tidak bergairah kepadanya, tidak berhias dan membersihkan dirinya padahal suami
menginginkannya dan keluar rumah tanpa izin suaminya. Oleh karenanya, seorang
istri tidak masuk dalam katagori nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas
sesuatu yang tidak diwajibkan pada seorang istri. Maka, jika ia tidak melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan
dengan kebutuhan biologis seperti: menyapu, menjahit, memasak dan
selainnya—walaupun menyiapkan air minum dan menyiapkan tempat tidur—semua itu
tidak masuk katagori nusyuz.
“Nusyuz pun dapat terjadi pada
seorang suami. Yaitu, jika seorang suami tidak menjalankan kewajiban yang
menjadi hak-hak istri, seperti tidak memberikan nafkah dan lain sebagainya”
Syiqaq adalah
perselisihan, percekcokan dan permusuhan yang berkepanjangan dan meruncing
antara suami istri.
Syiqaq merupakan
perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan istri
secara bersama- sama, dengan demikian syiqaq berbeda dengan nusyuz, yang
perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau
istri.
·
Tindakan
yang harus dilakukan ketika terjadi nusyuz dan syiqaq
Apabila
sekiranya sang istri memiliki tabiat yang berbeda dari biasanya, atau ia
memperlihatkan dirinya akan nusyuz maka suami berhak memberi pengajaran dan
nasihat yang baik, jika yang demikian belum membuatnya berubah, cara selanjutnya adalah dispisahkan
tempat tidurnya, sampai sekiranya hati istri tersebut dapat merasa tidak
mendapat perhatian dari suaminya, maka hatinya tergerak untuk memperbaiki
hubungan, tetapi jika hal ini pun tidak membuahkan hasil, maka suami berhak
untuk memukul.
Dalam
mengatasi kemelut rumah tangga (syiqaq), Islam memerintahkan agar dilakukan
arbitrase (tahkim). Suami boleh mengutus seorang hakam dan istri boleh pula
mengutus seorang hakam, yang mewakili masing – masing. Namun sebaik- baiknya
terdiri dari kaum keluarganya, yang mengetahui dengan baik perihal suami istri
itu, jika tidak ada boleh diambil dari orang lain. Pengutusan hakim ini
bermaksud untuk menelusuri sebab- sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari
jalan keluar guna memberikan penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang
dihadapi oleh kedua suami istri tersebut.
·
Kriteria
Hakam dalam syiqaq
Berdasarkan
pengertian secara dzahir surah an-Nisa : 35 di atas, juru damai (hakam) yang
dimaksud adalah terdiri atas wakil dari pihak suami dan wakil dari pihak istri.
Namun demikian, lebih diutamakan pada kerabat dekat atas dasar dugaan yang
kuat, lebih mengetahui seluk- beluk masalah yang ada. Demikan alasan yang
dikemukakan Abu Kasim Mahmud bin Umar az- Zamakhsyari diantaranya:
a.
Keluarga kedua belah pihak lebih tahu
tentang keadaan kedua suami istri secara mendalam dan mendekati kebenaran
b.
Keluarga dua belah pihak adalah di
antara orang- orang yang sangat menginginkan tercapainya perdamaian dan
kebahagian pihak yang berseteru
c.
Merekalah yang lebih dipercaya oleh
kedua pihak yang sedang brselisih
d.
Kepada mereka masing- masing pihak akan
lebih mudah berterus terang tentang isi hati masing- masing.
Menurut
Imam Syafi’I, hukum mengutus hakam dalam masalah syiqaq. mahmud Syaltut
berpendapat mengutus juru damai merupakan tugas wajib ‘ain (setiap orang) bagi
keluarga kedua suami istri. Kewajiban ini akan berpindah ke pengadilan apabila
keluarga kedua pihak suami dan istri tidak mampu lagi untuk merukunkan kembali
pasangan suami istri tersebut. Adapun syarat hakam menurut Sayid Sabiq
diantaranya
-
Berakal
-
Baligh
-
Adil
-
Muslim
·
Tugas
dan Wewenang Hakam
Dalam
hal wewenang hakam dalam kasus syiqaq, terdapat perbedaan pendapat antara ulama
Fiqh, Menurut ulama Hanafi, Imam Syafi’I, madzhab Hanbali, Hasan al-Basri dan
Ibn Qatadah, hakam tidak berwenang untuk menjatuhkan talaq suami terhadap istri
dan dari pihak istri tidak boleh mengadakan khuluk tanpa persetujuan
istri. Pendapat mereka ini sebagai
konsekuensi dari pandangan mereka bahwa hakam tersebut hanya berstatus sebagai wakil. Hakam
berwenang mengambil suatu keputusan hanya sepanjang dizinkan oleh suami istri
yang mewakilkannya.[3]
Diriwayatkan
bahwa sepasang suami istri diiringi oleh beberapa orang menghadap kepada
shahabat Ali RA, masing – masing membawa hakam. Shahabat Ali bertanya kepada
hakamtersebut: “Apakah anda berdua mengetahui apa yang harus (wajib) anda
lakukan? Kewajiban anda berdua adalah jika anda berdua berpendapat untuk
menyatukan kembali kedua suami istri ini, maka satukanlah, jika anda berdua
melihat bahwa menceraikan suami istri ini adalah baik, maka ceraikanlah.”
Lantas istri berkata : “Aku rela kepada Allah SWT baik dimenangkan atau
dikalahkan.”Suami pun berkata : “Jika bercerai aku tak bersedia.” Lalu shahabat
Ali berkata lagi: “Engkau dusta, demi Allah engkau tidak boleh berabgkat dari
tempat ini sebelum engkau ridha dengan kitab Allah ‘Azza wa Jalla, baik
menguntungkan atau merugikan engkau.
·
Status
Syiqaq Terhadap Perkawinan
Madzhab
Hanafi, Imam Syafi’I dan Madzhab Hanbali tidak membolehkan terjadinya perceraian
jika hanya berdasarkan pertimbangan telah terjadi syiqaq. Sebab dipandang masih
ada kemungkinan jalan lain untuk mengatasi mudharat yang mungkin akan
ditimbulkan oleh syiqaq tersebut, selain melalui talaq atau perceraian. Salah
satu cara menyelesaikan perselisihan keluarga tersebut bisa dengan diajukan ke
pengadilan. Hakim atau aparat yang berwenang akan menasihati suami dan istri
agar tidak mengulangi sikap dan tindakan yang dapat menimbulkan perselisihan
baru.
Menurut
Wahbah az-Zuhaili, perceraian yang diputuskan oleh hakim sebagai akibat syiqaq
berstatus sebagai talaq bain sughra, yakni suami bisa kembali kepada istrinya
itu dengan akad nikah yang baru. Dengan demikan, tidak ada kesempatan rujuk
bagi suami istri yang dipisahkan karena syiqaq. Hal ini dapat dipahami, karena
seandainya talaq itu adalah talaq raj’i, maka suami dapat saja kembali kepada
istrinya dengan cara rujuk selama masa iddah belum habis.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Bakar Muhammad Ibn Abdillah Ibn Araby. Ahkam
Al-Qur’an.Beirut:Darr Jail
Al-Hifnawi,
M.Ibrahim.Tafsir Al-Qurtubi Terjemah.2008.jakarta:
Pustaka Azzam
Assuyuti,Jalaluddin.Lubabun Nuzul Fi Asbabun Nuzul.1986.surabaya:Daarul
Ihya
Ensiklopedi
Hukum Islam Jilid VI.2003. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van
Hoeve
Sabiq, Sayyid. Fiqh sunnah jilid V-VIII. 1978. Bandung : PT.Al-Ma’arif
0 komentar on "TAFSIR AHKAM AL-QUR’AN ABU BAKAR MUHAMMAD BIN ABDILLAH ( IBN AL-‘ARABI ) SURAT AN-NISA : 34-35 TENTANG NUSYUZ & SYIQAQ"
Posting Komentar