BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan dunia dimulai dengan adanya kelahiran,
kemudian disusul dengan pernikahan agar dapat melestarikan keturunan, dan
kehidupan dunia ini berakhit dengan kematian.
Pernikahan, yakni terikatnya hubungan atau janji
antara seorang pria dan seorang wanita, ketentuan dan syarat-syaratnya juga
telah ditentukan beserta rukunnya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang nikah mut’ah
(nikah sementara), dimana didalamnya terdapat berbagai pendapat mengenai nikah
tersebut, sehubungan dengan apa yang pernah terjadi pada masa Rosul.
B.
Tujuan dan
Manfaat
1.
Memahami
pengertian nikah mut’ah
2.
Mengetahui hukum dan alasan hukum tentang nikah mut’ah
3.
Mengerti hadits-hadits
yang berhubungan dengan nikah mut’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
dan Terjemah
وَعَنْ
عَلِيٍّ رَضِىَّ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمْ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ اَلنِّسَاءِيَوْمَ
خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَ هْلِيَةِ
Dari ‘Ali, Rosulullah
SAW. telah melarang kawin mut’ah pada waktu Perang Khaibar dan melarang makan
daging keledai penduduknya.[1]
B.
Makna Kosakata
|
|
:
Al Mut’ah maksudnya,
memanfaatkannya. Bentuk isimnya adalah mut’ah, yang berarti nikah dengan
jangka waktu yang ditentukan. Dengan demikian, bila jangka waktunya berakhir,
maka selesailah akad nikah tersebut.[2]
|
Daging keledai kampung
:
C. Syarah
Hadits
Kawin
mut’ah itu sebenarnya baru diharamkan pada tahun penaklukan kota Makkah,
sebagaimana diriwayatkan di dalam Shahih Muslim bahwa para sahabat pada waktu
penaklukan Makkah masih diizinkan oleh Nabi kawin mut’ah. Jika benar pada waktu Peran Khaibar itu diharamkan
berarti terjadi nasakh (pembatalan hukum) dua kali. Hal yang
seperti ini sama sekali tidak pernah dikenal, dan tidak pernah terjadi di dalam
syariat Islam. Karena itu para Ulama memperselisihkan hadits ini. Ada yang
berpendapat:
1. Nabi
pernah melarang memakan daging keledai penduduk Khaibar pada waktu Perang
Khaibar dan kawin mut’ah. Tetapi tidak disebutkan dengan tegas sejak kapan
kawin mut’ah itu dilarang, sedang hadits Muslim di atas menjelaskannya, yaitu
pada tahun penaklukan Makkah.
2. Imam
Syafi’i tetap berpegang kepada lahir hadits itu saja, kata beliau: Tak pernah
saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan Allah lalu diharamkan-Nya, lalu
dihalalkan-Nya kemudian diharamkan-Nya lagi kecuali soal kawin mut’ah.[3]
D. Perbandingan
Madzhab
Kawin
mut’ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-laki
yang mengawini perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan.
Dinamakan kawin mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang
sementara waktu saja.
Kawin
seperti ini oleh seluruh Imam Mazhab disepakati haramnya. Kata mereka : kawin
mut’ah itu bila terjadi hukumnya tetap batal.
Alasan
mereka yaitu:
1. Kawin
seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al Qur’an,
juga tidak sesuai dengan masalah talak, iddah dan pusaka. Jadi kawin seperti
ini batil sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
2. Banyak
hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya.[4]
3. Umar
ketika menjadi Khalifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkanya dan para
sahabat pun menyetujuinya, padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu
yang salah, andaikata mengharamkan kawin mut’ah itu salah.
4. Al
Khatthabi berkata: Haramnya kawin mut’ah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa
golongan aliran Syiah.
Menurut
kaidah mereka (golongan Syiah) dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan
tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada ‘Ali, padahal
ada riwayat yang sah dari ‘Ali kalau kebolehan kawin mut’ah sudah dihapuskan.
Baihaqi
meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang kawin
mut’ah. Jawabnya: sama dengan zina.
5. Kawin
mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan
memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan.
Karena
itu dia disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuan untuk semata-mata
bersenang-senang.
Selain
itu juga membahayakan perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari
satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak
mendapatkan rumah tempat untuk tinggal dan memperoleh pemeliharaan dan
pendidikan dengan baik.
Diriwayatkan
dari beberapa orang sahabat dan tabi’in bahwa kawin mut’ah itu halal, yang
katanya dikenal sebagai riwayat dari Ibnu Abbas dalam Kitab “Tahdzibus Sunan”
ditegaskan, bahwa Ibnu Abbas membolehkan kawin mut’ah ini bila diperlukan dalam
keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak.
Tetapi
pendapat ini kemudian beliau cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang
melakukannya berlebih-lebihan. Jadi kawin mut’ah tetap haram bagi orang yang
tidak ada alasan yang sah.[5]
Ibnu
Abbas berkata bahwa kehalalan nikah mut’ah adalah seperti Allah menghalalkan
bangkai, darah dan daging babi yang barang-barang itu tidak halal kecuali bagi
orang yang terpaksa. Dan kawin mut’ah itu ibarat bangkai, darah dan daging babi.
Tetapi
golongan Syiah Imamiyah membolehkannya dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Ucapan
ijab qabul dengan lafaz : Zawwajtuka atau Unkihuka (Saya Kawinkan kamu) atau
matta’tuka (sya kawinkan kamu sementara).
2. Istrinya
haruslah seorang muslim atau ahli kitab.
Tetapi diutamakan
memilih perempuan mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3. Dengan
maskawin, harus disebutkan maskawinnya dan boleh dengan membawa saksi dan
diperhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya segengam
gandum.
4. Batas
waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat didalam pernikahan itu.
5. Diputuskan
berdasarkan persetujuan masing-masing umpamanya sehari, sebulan atau setahun,
pokoknya harus ada pembatasan waktu.
Hukum
kawin mut’ah ini menurut mereka :
a) Kalau
maskawinnya tidak disebut tetapi batas
waktu disebutkan, aqad nikahnya batal. Tetapi kalau maharnya disebutkan
sedang batas waktunya tidak disebutkan maka perkawinannya berubah menjadi kawin
biasa.
b) Anak
yang lahir menjadi anaknya
c) Tak
ada talak dan tidak ada li’an
d) Tidak
ada hak pusaka mempusakai antara suami istri.
e) Anaknya
berhak mewarisi dari ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi dari
anaknya.
f) Masa
iddahnya dua kali mas haid, bagi yang masih berhaid. Dan bagi yang berhaid,
tetapi ternyata berhenti haidnya, maka masa iddahnya 45 hari.
Imam
Syaukani berkata : Sepenuhnya kami hanya berpegang kepada syariat yang telah
kami terima, bahwa menurut kami kawin mut’ah itu diharamkan untuk
selama-lamanya.
Adapun
adanya sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini dapat berarti mencederakan
hukum ini, dan kami pun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk meringankan hukum kawin mut’ah. Bagaimana mungkin kawin mut’ah ini
bisa diberi keringanan padahal sebagian terbesar para sahabat telah mengetahui
betul haramnya dan merekapun menjauhinya dan meriwayatkan hadits-haditsnya pula
kepada kita[6]
Dalam
Ar-Raudah An-Nadiyyah, Syaikh Shadiq Hasan Khan berkata dalam Syarh
As-Sunnah, “Para ulama sepakat mengharamkan mut’ah. Hadits-hadits yang berbicara
tentang keharaman mut’ah adalah mutawatir. Riwayat yang mengharamkan
mut’ah sampai hari Kiamat merupakan hujjah dalam bab ini; tidak ada riwayat
lain yang bersumber dari para sahabat menyatakan bahwa mereka menetapkan mut’ah
dalam kehidupan Rasulullah SAW hingga akhir hayatnya Umar bin Khathtab RA.[7]
Al-Qurthubi
berkata, “Semua riwayat sepakat mengatakan bahwa masa dibolehkannya mut’ah,
tidaklah panjang atau lama, setelah itu diharamkan untuk selamanya. Kemudian
ulama salaf dan khalaf mengeluarkan ijma’ atas pengharaman mut’ah, kecuali
golongan Rafidhah.”[8]
Peraturan
nikah mut’ah menurut golongan Rafidhah adalah nikah muaqqat (sementara)
dengan masa yang diketahui atau tidak diketahui. Waktu maksimalnya adalah empat
puluh lima hari. Dan aqad tersebut berakhir dengan selesainya masa atau waktu
yang telah ditentukan di awal akad.
Menurut
golongan Rafidah, nikah mut’ah tidak mewajibkan nafkah, tidak menyebabkan
saling mewarisi, tidak menghasilkan keturunan, dan tidak mengenal masa iddah,
tapi pada nikah mut’ah ada permohonan pembebasan.[9]
Seorang
penulis dari golongan kaum syiah Rofidhah yang bernama Wasail Asy-Syiah,
didalam tulisannya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan nikah mut’ah (kawin
kontrak).
Dimana
dalam juz XIV mulai dari halaman 436 hingga 496 disebutkan beberpada bab nikah
mut’ah yang terdiri dari 46 bab.
Bab
Pertama: “Diperbolehkan Nikah Mut’ah”. Di antara yang disebutkan dalam bab ini
adalah, “Bukan golongan kami yang tidak percaya kepada raj’ah (kembalinya
Imam yang ghaib) kami dan tidak menghalalkan mut’ah kami.” (Hlm438)
Lihatlah
bagaimana mereka menjadikan halalnya nikah mut’ah seperti beriman kepada
kembalinya imam yang ghaib yang merupakan prinsip dasar akidah merekan,
sebagaimana telah kami bicarakan ketika menjelaskan akidah dan prinsip-prinsip
mereka, sehingga orang yang tidak menghalalkan nikah mut’ah dalam
pandangan mereka bukan termasuk orang yang beriman.
Sebagaimana
mereka juga menjadikan nikah mut’ah termasuk tuntunan dasar Islam bersama
syahadat tauhid. (Hlm. 439).
Bahkan
sampai mereka berani membuat kebohongan atas nama Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Disebutkan bahwa Nabi nikah mut’ah, lalu diketahui oleh
sebagian isterinya, maka isterinya menuduh Nabi melakukan perzinaan. (Hlm.
440).[10]
Tidak hanya sampai di situ upaya mereka dalam
menghalalkan nikah mut’ah. Dalam bab kedua dari beberapa bab tentang nikah
mut’ah disebutkan bab, “Sunnah nikah mut’ah dan tujuan yang seyogyanya
dilakukan.”
Di
antara yang disebutkan dalam bab tersebut adalah, “Jika orang yang nikah
mut’ah bertujuan karena mengharap ridha Allah dan menentang orang yang
mengingkari mut’ah, maka tidaklah dia berbicara kepada wanita yang di
mut’ahinya melainkan Allah menuliskan untuknya satu kebaikan, dan tidaklah dia
mengulurkan tangannya kepada wanita yang di mut’ahinya, melainkan Allah
menuliskan untuknya satu kebaikan. Lalu Jika dia mendekat kepada wanita yang
dimut’ahinya, maka Allah mengampuni dosanya. Jika dia mandi, maka Allah
mengampuni dosanya sebanyak rambutnya yang dialirkan air kepadanya.”
(Hlm.441).
“Sesungguhnya
Jibril Alaihis Salaam bertemu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam malam
Isra’ dan berkata kepadanya, ‘Wahai
Muhammad, sesungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Aku
mengampuni orang-orang yang mut’ah dari umatmu.’ “(Hlm.442).
Dalam
bab yang lainnya juga dikatakan misal Bab keempat: Boleh mut’ah lebih dari
empat wanita meskipun mempunyai empat isteri dengan nikah permanen. (Hlm.446).
Diantara
yang disebutkan dalam bab keempat ini adalah, “Nikahlah dengan seribu
wanita, sebab mereka adalah wanita-wanita sewaan.” (Hlm.446).
“Wanita
yang dinikahi secara mut’ah tidak termasuk empat isteri, karena dia tidak
ditalak dan tidak mewarisi, tapi dia wanita bayaran.” (Hlm.446).
“Orang
yang memiliki empat isteri boleh nikah mut’ah kapan saja dia maudengan tanpa
wali dan tanpa saksi.” (Hlm.447).
Saya
berkata, jika demikian, lalu apa perbedaan mut’ah dengan zina? Sebab orang yang
berzina cukup berdua dengan seorang wanita dan melakukan hubungan badan dengan
membayar sesuai kesepakatan. Hal ini dapat dilakukan berulang kali sampai
kepada seribu pelacur. Bahkan meskipun dia mengumpulkan semua pelacur dalam
waktu yang sama.
Tapi
anehnya mereka menyatakan bentuk pelacuran ini adalah yang dimaksudkan
firmannya,
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)
sebagai suatu kewajiban”, seraya merubah ayat
tersebut dengan menambahkan,
“sampai waktu yang ditentukan.”
Demikian
mut’ah menjadi zina yang dihalalkan hingga kepada wanita yang bersuami,
bahkan orang yang melakukan ketika mandi diberikan pahala sebanyak rambut
kepalanya.[11]
Dalam
melakukan sebuah pernikahan tentunya didasari dengan nita yang baik, maka dalam
hal ini niat sangat erat kaitannya dalam melakukan sebuah perbuatan.
Semisal,.......melakukan akad nikah, tetapi dengan niat nanti mentalaknya, Para
ahli fiqh sependapat, bila seorang kawin dengan perempuan tanpa menyebutkan
batas waktu tertentu, tetapi didalam hatinya ada niat akan mentalaknya beberapa
saat kemudian, atau sesudah urusannya di negeri yang ditinggalinya itu selesai,
maka aqad nikahnya sah. Tetapi Imam Auza’i berbeda dengan pendapat ini, beliau
menganggapnya sebagai kawin mut’ah.
Syaih
Rasyid Ridha mengatakan dalam komentarnya pada tafsir Al-Manar, bahwa para
ulama Salaf dan Khalaf yang sangat keras melarang, sekalipun para ahli fiqh
berpendapat bahwa aqad nikah semacam ini hukumnya sah, sekalipun dalam hati
berniat kawin sementara, tetapi ketika mengucapkan ijab qabulnya tidak
dinyatakannya. Namun dengan menyembunyikan niatan hatinya seperti ini adalah
merupakan perbuatan menipu dan mengelabui pihak perempuan yang sepatutnya
dianggap lebih batal daripada suatu aqad nikah yang dengan terang-terangan
disebutkan syarat sementaranya yang secara bersama-sama disetujui oleh pihak
laki-laki, perempuan dan walinya.[12]
DAFTAR
PUSTAKA
Ash shiddiqy,
Hasbi.1997. Mutiara hadits. Jakarat : Bulan Bintang.
As salus, Ali
Ahmad.2001.Ensiklopedi sunnah-syiah. Jakarta : Pustaka Kautsar.
Al Bassam, Abdullah bin
Abdurrahman. 2006.Syarah Bulughul maram. Jakarta : Pustaka Azzam.
Sabiq, Sayyid.1978.Fiqh
sunah jilid 5. Bandung : PT. Al Ma’arif Al-lu’lu u wal marjan
[1] Al-Lu’ lu’uwal Warjan 2:101, Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 5.
(Bandung: PT. Almanaf, 1978). Hlm. 66
[2] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) hlm. 347
[3] Sayyid Sabiq, hlm 64
[4] Sayyid Sabiq, hlm 62
[5] Ibid, hlm 65
[6] Ibid, hlm 67
[7] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Hlm 351
[8] Ibid, hlm 350
[9] Ibid, hlm 349
[10] Ali Muhammad as-salus. Ensiklopedi Sunnah-Syiah. (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2001) hlm.400
[11] Ibid, hlm 404
[12] Hasbi Ash Shiddiqy, Mutiara Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang,
1997). Hlm 175
0 komentar on "NIKAH MUT’AH dalam Hukum Islam"
Posting Komentar