Jumat, 21 Oktober 2011

NIKAH MUT’AH dalam Hukum Islam

Diposting oleh Anonim di 03.29
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan dunia dimulai dengan adanya kelahiran, kemudian disusul dengan pernikahan agar dapat melestarikan keturunan, dan kehidupan dunia ini berakhit dengan kematian.
Pernikahan, yakni terikatnya hubungan atau janji antara seorang pria dan seorang wanita, ketentuan dan syarat-syaratnya juga telah ditentukan beserta rukunnya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang nikah mut’ah (nikah sementara), dimana didalamnya terdapat berbagai pendapat mengenai nikah tersebut, sehubungan dengan apa yang pernah terjadi pada masa Rosul.

B.     Tujuan dan Manfaat
1.      Memahami pengertian nikah mut’ah
2.      Mengetahui hukum dan alasan hukum tentang nikah mut’ah
3.      Mengerti hadits-hadits yang berhubungan dengan nikah mut’ah


 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits dan Terjemah
وَعَنْ عَلِيٍّ رَضِىَّ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ اَلنِّسَاءِيَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَ هْلِيَةِ
Dari ‘Ali, Rosulullah SAW. telah melarang kawin mut’ah pada waktu Perang Khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya.[1]

B.    
نهي
 
Makna Kosakata
متعة
 
Melarang/mencegah :
                                 :                                  
Al Mut’ah maksudnya, memanfaatkannya. Bentuk isimnya adalah mut’ah, yang berarti nikah dengan jangka waktu yang ditentukan. Dengan demikian, bila jangka waktunya berakhir, maka selesailah akad nikah tersebut.[2]
و م الحمر الأ هلية
 
 

Daging keledai kampung :

C.     Syarah Hadits
Kawin mut’ah itu sebenarnya baru diharamkan pada tahun penaklukan kota Makkah, sebagaimana diriwayatkan di dalam Shahih Muslim bahwa para sahabat pada waktu penaklukan Makkah masih diizinkan oleh Nabi kawin mut’ah. Jika benar pada waktu Peran Khaibar itu diharamkan berarti terjadi nasakh (pembatalan hukum) dua kali. Hal yang seperti ini sama sekali tidak pernah dikenal, dan tidak pernah terjadi di dalam syariat Islam. Karena itu para Ulama memperselisihkan hadits ini. Ada yang berpendapat:
1.      Nabi pernah melarang memakan daging keledai penduduk Khaibar pada waktu Perang Khaibar dan kawin mut’ah. Tetapi tidak disebutkan dengan tegas sejak kapan kawin mut’ah itu dilarang, sedang hadits Muslim di atas menjelaskannya, yaitu pada tahun penaklukan Makkah.
2.      Imam Syafi’i tetap berpegang kepada lahir hadits itu saja, kata beliau: Tak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan Allah lalu diharamkan-Nya, lalu dihalalkan-Nya kemudian diharamkan-Nya lagi kecuali soal kawin mut’ah.[3]

D.    Perbandingan Madzhab
Kawin mut’ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Kawin seperti ini oleh seluruh Imam Mazhab disepakati haramnya. Kata mereka : kawin mut’ah itu bila terjadi hukumnya tetap batal.
Alasan mereka yaitu:
1.      Kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah talak, iddah dan pusaka. Jadi kawin seperti ini batil sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
2.      Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya.[4]
3.      Umar ketika menjadi Khalifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkanya dan para sahabat pun menyetujuinya, padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, andaikata mengharamkan kawin mut’ah itu salah.
4.      Al Khatthabi berkata: Haramnya kawin mut’ah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa golongan aliran Syiah.
Menurut kaidah mereka (golongan Syiah) dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada ‘Ali, padahal ada riwayat yang sah dari ‘Ali kalau kebolehan kawin mut’ah sudah dihapuskan.
Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang kawin mut’ah. Jawabnya: sama dengan zina.
5.      Kawin mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan.
Karena itu dia disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuan untuk semata-mata bersenang-senang.
Selain itu juga membahayakan perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan rumah tempat untuk tinggal dan memperoleh pemeliharaan dan pendidikan dengan baik.

Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi’in bahwa kawin mut’ah itu halal, yang katanya dikenal sebagai riwayat dari Ibnu Abbas dalam Kitab “Tahdzibus Sunan” ditegaskan, bahwa Ibnu Abbas membolehkan kawin mut’ah ini bila diperlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak.
Tetapi pendapat ini kemudian beliau cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang melakukannya berlebih-lebihan. Jadi kawin mut’ah tetap haram bagi orang yang tidak ada alasan yang sah.[5]
Ibnu Abbas berkata bahwa kehalalan nikah mut’ah adalah seperti Allah menghalalkan bangkai, darah dan daging babi yang barang-barang itu tidak halal kecuali bagi orang yang terpaksa. Dan kawin mut’ah itu ibarat bangkai, darah dan daging babi.
Tetapi golongan Syiah Imamiyah membolehkannya dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1.    Ucapan ijab qabul dengan lafaz : Zawwajtuka atau Unkihuka (Saya Kawinkan kamu) atau matta’tuka (sya kawinkan kamu sementara).
2.    Istrinya haruslah seorang muslim atau ahli kitab.
Tetapi diutamakan memilih perempuan mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3.    Dengan maskawin, harus disebutkan maskawinnya dan boleh dengan membawa saksi dan diperhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya segengam gandum.
4.    Batas waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat didalam pernikahan itu.
5.    Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing umpamanya sehari, sebulan atau setahun, pokoknya harus ada pembatasan waktu.
Hukum kawin mut’ah ini menurut mereka :
a)    Kalau maskawinnya tidak disebut tetapi batas  waktu disebutkan, aqad nikahnya batal. Tetapi kalau maharnya disebutkan sedang batas waktunya tidak disebutkan maka perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
b)   Anak yang lahir menjadi anaknya
c)    Tak ada talak dan tidak ada li’an
d)   Tidak ada hak pusaka mempusakai antara suami istri.
e)    Anaknya berhak mewarisi dari ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi dari anaknya.
f)    Masa iddahnya dua kali mas haid, bagi yang masih berhaid. Dan bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya, maka masa iddahnya 45 hari.
Imam Syaukani berkata : Sepenuhnya kami hanya berpegang kepada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami kawin mut’ah itu diharamkan untuk selama-lamanya.
Adapun adanya sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini dapat berarti mencederakan hukum ini, dan kami pun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meringankan hukum kawin mut’ah. Bagaimana mungkin kawin mut’ah ini bisa diberi keringanan padahal sebagian terbesar para sahabat telah mengetahui betul haramnya dan merekapun menjauhinya dan meriwayatkan hadits-haditsnya pula kepada kita[6]
Dalam Ar-Raudah An-Nadiyyah, Syaikh Shadiq Hasan Khan berkata dalam Syarh As-Sunnah, “Para ulama sepakat mengharamkan mut’ah. Hadits-hadits yang berbicara tentang keharaman mut’ah adalah mutawatir. Riwayat yang mengharamkan mut’ah sampai hari Kiamat merupakan hujjah dalam bab ini; tidak ada riwayat lain yang bersumber dari para sahabat menyatakan bahwa mereka menetapkan mut’ah dalam kehidupan Rasulullah SAW hingga akhir hayatnya Umar bin Khathtab RA.[7]
Al-Qurthubi berkata, “Semua riwayat sepakat mengatakan bahwa masa dibolehkannya mut’ah, tidaklah panjang atau lama, setelah itu diharamkan untuk selamanya. Kemudian ulama salaf dan khalaf mengeluarkan ijma’ atas pengharaman mut’ah, kecuali golongan Rafidhah.”[8]
Peraturan nikah mut’ah menurut golongan Rafidhah adalah nikah muaqqat (sementara) dengan masa yang diketahui atau tidak diketahui. Waktu maksimalnya adalah empat puluh lima hari. Dan aqad tersebut berakhir dengan selesainya masa atau waktu yang telah ditentukan di awal akad.
Menurut golongan Rafidah, nikah mut’ah tidak mewajibkan nafkah, tidak menyebabkan saling mewarisi, tidak menghasilkan keturunan, dan tidak mengenal masa iddah, tapi pada nikah mut’ah ada permohonan pembebasan.[9]
Seorang penulis dari golongan kaum syiah Rofidhah yang bernama Wasail Asy-Syiah, didalam tulisannya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan nikah mut’ah (kawin kontrak).
Dimana dalam juz XIV mulai dari halaman 436 hingga 496 disebutkan beberpada bab nikah mut’ah yang terdiri dari 46 bab.
Bab Pertama: “Diperbolehkan Nikah Mut’ah”. Di antara yang disebutkan dalam bab ini adalah, “Bukan golongan kami yang tidak percaya kepada raj’ah (kembalinya Imam yang ghaib) kami dan tidak menghalalkan mut’ah kami.” (Hlm438)
Lihatlah bagaimana mereka menjadikan halalnya nikah mut’ah seperti beriman kepada kembalinya imam yang ghaib yang merupakan prinsip dasar akidah merekan, sebagaimana telah kami bicarakan ketika menjelaskan akidah dan prinsip-prinsip mereka, sehingga orang yang tidak menghalalkan nikah mut’ah dalam pandangan mereka bukan termasuk orang yang beriman.
Sebagaimana mereka juga menjadikan nikah mut’ah termasuk tuntunan dasar Islam bersama syahadat tauhid. (Hlm. 439).
Bahkan sampai mereka berani membuat kebohongan atas nama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Disebutkan bahwa Nabi nikah mut’ah, lalu diketahui oleh sebagian isterinya, maka isterinya menuduh Nabi melakukan perzinaan. (Hlm. 440).[10]
 Tidak hanya sampai di situ upaya mereka dalam menghalalkan nikah mut’ah. Dalam bab kedua dari beberapa bab tentang nikah mut’ah disebutkan bab, “Sunnah nikah mut’ah dan tujuan yang seyogyanya dilakukan.”
Di antara yang disebutkan dalam bab tersebut adalah, “Jika orang yang nikah mut’ah bertujuan karena mengharap ridha Allah dan menentang orang yang mengingkari mut’ah, maka tidaklah dia berbicara kepada wanita yang di mut’ahinya melainkan Allah menuliskan untuknya satu kebaikan, dan tidaklah dia mengulurkan tangannya kepada wanita yang di mut’ahinya, melainkan Allah menuliskan untuknya satu kebaikan. Lalu Jika dia mendekat kepada wanita yang dimut’ahinya, maka Allah mengampuni dosanya. Jika dia mandi, maka Allah mengampuni dosanya sebanyak rambutnya yang dialirkan air kepadanya.” (Hlm.441).
Sesungguhnya Jibril Alaihis Salaam bertemu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam malam Isra’ dan berkata kepadanya,  ‘Wahai Muhammad, sesungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengampuni orang-orang yang mut’ah dari umatmu.’ “(Hlm.442).
Dalam bab yang lainnya juga dikatakan misal Bab keempat: Boleh mut’ah lebih dari empat wanita meskipun mempunyai empat isteri dengan nikah permanen. (Hlm.446).
Diantara yang disebutkan dalam bab keempat ini adalah, “Nikahlah dengan seribu wanita, sebab mereka adalah wanita-wanita sewaan.” (Hlm.446).
Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak termasuk empat isteri, karena dia tidak ditalak dan tidak mewarisi, tapi dia wanita bayaran.” (Hlm.446).
“Orang yang memiliki empat isteri boleh nikah mut’ah kapan saja dia maudengan tanpa wali dan tanpa saksi.” (Hlm.447).
Saya berkata, jika demikian, lalu apa perbedaan mut’ah dengan zina? Sebab orang yang berzina cukup berdua dengan seorang wanita dan melakukan hubungan badan dengan membayar sesuai kesepakatan. Hal ini dapat dilakukan berulang kali sampai kepada seribu pelacur. Bahkan meskipun dia mengumpulkan semua pelacur dalam waktu yang sama.
Tapi anehnya mereka menyatakan bentuk pelacuran ini adalah yang dimaksudkan firmannya,

 “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”, seraya merubah ayat tersebut dengan menambahkan, 

 “sampai waktu yang ditentukan.”
Demikian mut’ah menjadi zina yang dihalalkan hingga kepada wanita yang bersuami, bahkan orang yang melakukan ketika mandi diberikan pahala sebanyak rambut kepalanya.[11]
Dalam melakukan sebuah pernikahan tentunya didasari dengan nita yang baik, maka dalam hal ini niat sangat erat kaitannya dalam melakukan sebuah perbuatan. Semisal,.......melakukan akad nikah, tetapi dengan niat nanti mentalaknya, Para ahli fiqh sependapat, bila seorang kawin dengan perempuan tanpa menyebutkan batas waktu tertentu, tetapi didalam hatinya ada niat akan mentalaknya beberapa saat kemudian, atau sesudah urusannya di negeri yang ditinggalinya itu selesai, maka aqad nikahnya sah. Tetapi Imam Auza’i berbeda dengan pendapat ini, beliau menganggapnya sebagai kawin mut’ah.
Syaih Rasyid Ridha mengatakan dalam komentarnya pada tafsir Al-Manar, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf yang sangat keras melarang, sekalipun para ahli fiqh berpendapat bahwa aqad nikah semacam ini hukumnya sah, sekalipun dalam hati berniat kawin sementara, tetapi ketika mengucapkan ijab qabulnya tidak dinyatakannya. Namun dengan menyembunyikan niatan hatinya seperti ini adalah merupakan perbuatan menipu dan mengelabui pihak perempuan yang sepatutnya dianggap lebih batal daripada suatu aqad nikah yang dengan terang-terangan disebutkan syarat sementaranya yang secara bersama-sama disetujui oleh pihak laki-laki, perempuan dan walinya.[12]
 
 DAFTAR PUSTAKA

Ash shiddiqy, Hasbi.1997. Mutiara hadits. Jakarat : Bulan Bintang.
As salus, Ali Ahmad.2001.Ensiklopedi sunnah-syiah. Jakarta : Pustaka Kautsar.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006.Syarah Bulughul maram. Jakarta : Pustaka Azzam.
Sabiq, Sayyid.1978.Fiqh sunah jilid 5. Bandung : PT. Al Ma’arif Al-lu’lu u wal marjan


[1] Al-Lu’ lu’uwal Warjan 2:101, Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 5. (Bandung: PT. Almanaf, 1978). Hlm. 66
[2] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) hlm. 347
[3] Sayyid Sabiq, hlm 64
[4] Sayyid Sabiq, hlm 62
[5] Ibid, hlm 65
[6] Ibid, hlm 67
[7] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Hlm 351
[8] Ibid, hlm 350
[9] Ibid, hlm 349
[10] Ali Muhammad as-salus. Ensiklopedi Sunnah-Syiah. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001) hlm.400
[11] Ibid, hlm 404
[12] Hasbi Ash Shiddiqy, Mutiara Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm 175

0 komentar on "NIKAH MUT’AH dalam Hukum Islam"

Jumat, 21 Oktober 2011

NIKAH MUT’AH dalam Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan dunia dimulai dengan adanya kelahiran, kemudian disusul dengan pernikahan agar dapat melestarikan keturunan, dan kehidupan dunia ini berakhit dengan kematian.
Pernikahan, yakni terikatnya hubungan atau janji antara seorang pria dan seorang wanita, ketentuan dan syarat-syaratnya juga telah ditentukan beserta rukunnya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang nikah mut’ah (nikah sementara), dimana didalamnya terdapat berbagai pendapat mengenai nikah tersebut, sehubungan dengan apa yang pernah terjadi pada masa Rosul.

B.     Tujuan dan Manfaat
1.      Memahami pengertian nikah mut’ah
2.      Mengetahui hukum dan alasan hukum tentang nikah mut’ah
3.      Mengerti hadits-hadits yang berhubungan dengan nikah mut’ah


 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits dan Terjemah
وَعَنْ عَلِيٍّ رَضِىَّ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ اَلنِّسَاءِيَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَ هْلِيَةِ
Dari ‘Ali, Rosulullah SAW. telah melarang kawin mut’ah pada waktu Perang Khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya.[1]

B.    
نهي
 
Makna Kosakata
متعة
 
Melarang/mencegah :
                                 :                                  
Al Mut’ah maksudnya, memanfaatkannya. Bentuk isimnya adalah mut’ah, yang berarti nikah dengan jangka waktu yang ditentukan. Dengan demikian, bila jangka waktunya berakhir, maka selesailah akad nikah tersebut.[2]
و م الحمر الأ هلية
 
 

Daging keledai kampung :

C.     Syarah Hadits
Kawin mut’ah itu sebenarnya baru diharamkan pada tahun penaklukan kota Makkah, sebagaimana diriwayatkan di dalam Shahih Muslim bahwa para sahabat pada waktu penaklukan Makkah masih diizinkan oleh Nabi kawin mut’ah. Jika benar pada waktu Peran Khaibar itu diharamkan berarti terjadi nasakh (pembatalan hukum) dua kali. Hal yang seperti ini sama sekali tidak pernah dikenal, dan tidak pernah terjadi di dalam syariat Islam. Karena itu para Ulama memperselisihkan hadits ini. Ada yang berpendapat:
1.      Nabi pernah melarang memakan daging keledai penduduk Khaibar pada waktu Perang Khaibar dan kawin mut’ah. Tetapi tidak disebutkan dengan tegas sejak kapan kawin mut’ah itu dilarang, sedang hadits Muslim di atas menjelaskannya, yaitu pada tahun penaklukan Makkah.
2.      Imam Syafi’i tetap berpegang kepada lahir hadits itu saja, kata beliau: Tak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan Allah lalu diharamkan-Nya, lalu dihalalkan-Nya kemudian diharamkan-Nya lagi kecuali soal kawin mut’ah.[3]

D.    Perbandingan Madzhab
Kawin mut’ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Kawin seperti ini oleh seluruh Imam Mazhab disepakati haramnya. Kata mereka : kawin mut’ah itu bila terjadi hukumnya tetap batal.
Alasan mereka yaitu:
1.      Kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah talak, iddah dan pusaka. Jadi kawin seperti ini batil sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
2.      Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya.[4]
3.      Umar ketika menjadi Khalifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkanya dan para sahabat pun menyetujuinya, padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, andaikata mengharamkan kawin mut’ah itu salah.
4.      Al Khatthabi berkata: Haramnya kawin mut’ah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa golongan aliran Syiah.
Menurut kaidah mereka (golongan Syiah) dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada ‘Ali, padahal ada riwayat yang sah dari ‘Ali kalau kebolehan kawin mut’ah sudah dihapuskan.
Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang kawin mut’ah. Jawabnya: sama dengan zina.
5.      Kawin mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan.
Karena itu dia disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuan untuk semata-mata bersenang-senang.
Selain itu juga membahayakan perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan rumah tempat untuk tinggal dan memperoleh pemeliharaan dan pendidikan dengan baik.

Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi’in bahwa kawin mut’ah itu halal, yang katanya dikenal sebagai riwayat dari Ibnu Abbas dalam Kitab “Tahdzibus Sunan” ditegaskan, bahwa Ibnu Abbas membolehkan kawin mut’ah ini bila diperlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak.
Tetapi pendapat ini kemudian beliau cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang melakukannya berlebih-lebihan. Jadi kawin mut’ah tetap haram bagi orang yang tidak ada alasan yang sah.[5]
Ibnu Abbas berkata bahwa kehalalan nikah mut’ah adalah seperti Allah menghalalkan bangkai, darah dan daging babi yang barang-barang itu tidak halal kecuali bagi orang yang terpaksa. Dan kawin mut’ah itu ibarat bangkai, darah dan daging babi.
Tetapi golongan Syiah Imamiyah membolehkannya dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1.    Ucapan ijab qabul dengan lafaz : Zawwajtuka atau Unkihuka (Saya Kawinkan kamu) atau matta’tuka (sya kawinkan kamu sementara).
2.    Istrinya haruslah seorang muslim atau ahli kitab.
Tetapi diutamakan memilih perempuan mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3.    Dengan maskawin, harus disebutkan maskawinnya dan boleh dengan membawa saksi dan diperhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya segengam gandum.
4.    Batas waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat didalam pernikahan itu.
5.    Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing umpamanya sehari, sebulan atau setahun, pokoknya harus ada pembatasan waktu.
Hukum kawin mut’ah ini menurut mereka :
a)    Kalau maskawinnya tidak disebut tetapi batas  waktu disebutkan, aqad nikahnya batal. Tetapi kalau maharnya disebutkan sedang batas waktunya tidak disebutkan maka perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
b)   Anak yang lahir menjadi anaknya
c)    Tak ada talak dan tidak ada li’an
d)   Tidak ada hak pusaka mempusakai antara suami istri.
e)    Anaknya berhak mewarisi dari ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi dari anaknya.
f)    Masa iddahnya dua kali mas haid, bagi yang masih berhaid. Dan bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya, maka masa iddahnya 45 hari.
Imam Syaukani berkata : Sepenuhnya kami hanya berpegang kepada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami kawin mut’ah itu diharamkan untuk selama-lamanya.
Adapun adanya sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini dapat berarti mencederakan hukum ini, dan kami pun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meringankan hukum kawin mut’ah. Bagaimana mungkin kawin mut’ah ini bisa diberi keringanan padahal sebagian terbesar para sahabat telah mengetahui betul haramnya dan merekapun menjauhinya dan meriwayatkan hadits-haditsnya pula kepada kita[6]
Dalam Ar-Raudah An-Nadiyyah, Syaikh Shadiq Hasan Khan berkata dalam Syarh As-Sunnah, “Para ulama sepakat mengharamkan mut’ah. Hadits-hadits yang berbicara tentang keharaman mut’ah adalah mutawatir. Riwayat yang mengharamkan mut’ah sampai hari Kiamat merupakan hujjah dalam bab ini; tidak ada riwayat lain yang bersumber dari para sahabat menyatakan bahwa mereka menetapkan mut’ah dalam kehidupan Rasulullah SAW hingga akhir hayatnya Umar bin Khathtab RA.[7]
Al-Qurthubi berkata, “Semua riwayat sepakat mengatakan bahwa masa dibolehkannya mut’ah, tidaklah panjang atau lama, setelah itu diharamkan untuk selamanya. Kemudian ulama salaf dan khalaf mengeluarkan ijma’ atas pengharaman mut’ah, kecuali golongan Rafidhah.”[8]
Peraturan nikah mut’ah menurut golongan Rafidhah adalah nikah muaqqat (sementara) dengan masa yang diketahui atau tidak diketahui. Waktu maksimalnya adalah empat puluh lima hari. Dan aqad tersebut berakhir dengan selesainya masa atau waktu yang telah ditentukan di awal akad.
Menurut golongan Rafidah, nikah mut’ah tidak mewajibkan nafkah, tidak menyebabkan saling mewarisi, tidak menghasilkan keturunan, dan tidak mengenal masa iddah, tapi pada nikah mut’ah ada permohonan pembebasan.[9]
Seorang penulis dari golongan kaum syiah Rofidhah yang bernama Wasail Asy-Syiah, didalam tulisannya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan nikah mut’ah (kawin kontrak).
Dimana dalam juz XIV mulai dari halaman 436 hingga 496 disebutkan beberpada bab nikah mut’ah yang terdiri dari 46 bab.
Bab Pertama: “Diperbolehkan Nikah Mut’ah”. Di antara yang disebutkan dalam bab ini adalah, “Bukan golongan kami yang tidak percaya kepada raj’ah (kembalinya Imam yang ghaib) kami dan tidak menghalalkan mut’ah kami.” (Hlm438)
Lihatlah bagaimana mereka menjadikan halalnya nikah mut’ah seperti beriman kepada kembalinya imam yang ghaib yang merupakan prinsip dasar akidah merekan, sebagaimana telah kami bicarakan ketika menjelaskan akidah dan prinsip-prinsip mereka, sehingga orang yang tidak menghalalkan nikah mut’ah dalam pandangan mereka bukan termasuk orang yang beriman.
Sebagaimana mereka juga menjadikan nikah mut’ah termasuk tuntunan dasar Islam bersama syahadat tauhid. (Hlm. 439).
Bahkan sampai mereka berani membuat kebohongan atas nama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Disebutkan bahwa Nabi nikah mut’ah, lalu diketahui oleh sebagian isterinya, maka isterinya menuduh Nabi melakukan perzinaan. (Hlm. 440).[10]
 Tidak hanya sampai di situ upaya mereka dalam menghalalkan nikah mut’ah. Dalam bab kedua dari beberapa bab tentang nikah mut’ah disebutkan bab, “Sunnah nikah mut’ah dan tujuan yang seyogyanya dilakukan.”
Di antara yang disebutkan dalam bab tersebut adalah, “Jika orang yang nikah mut’ah bertujuan karena mengharap ridha Allah dan menentang orang yang mengingkari mut’ah, maka tidaklah dia berbicara kepada wanita yang di mut’ahinya melainkan Allah menuliskan untuknya satu kebaikan, dan tidaklah dia mengulurkan tangannya kepada wanita yang di mut’ahinya, melainkan Allah menuliskan untuknya satu kebaikan. Lalu Jika dia mendekat kepada wanita yang dimut’ahinya, maka Allah mengampuni dosanya. Jika dia mandi, maka Allah mengampuni dosanya sebanyak rambutnya yang dialirkan air kepadanya.” (Hlm.441).
Sesungguhnya Jibril Alaihis Salaam bertemu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam malam Isra’ dan berkata kepadanya,  ‘Wahai Muhammad, sesungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengampuni orang-orang yang mut’ah dari umatmu.’ “(Hlm.442).
Dalam bab yang lainnya juga dikatakan misal Bab keempat: Boleh mut’ah lebih dari empat wanita meskipun mempunyai empat isteri dengan nikah permanen. (Hlm.446).
Diantara yang disebutkan dalam bab keempat ini adalah, “Nikahlah dengan seribu wanita, sebab mereka adalah wanita-wanita sewaan.” (Hlm.446).
Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak termasuk empat isteri, karena dia tidak ditalak dan tidak mewarisi, tapi dia wanita bayaran.” (Hlm.446).
“Orang yang memiliki empat isteri boleh nikah mut’ah kapan saja dia maudengan tanpa wali dan tanpa saksi.” (Hlm.447).
Saya berkata, jika demikian, lalu apa perbedaan mut’ah dengan zina? Sebab orang yang berzina cukup berdua dengan seorang wanita dan melakukan hubungan badan dengan membayar sesuai kesepakatan. Hal ini dapat dilakukan berulang kali sampai kepada seribu pelacur. Bahkan meskipun dia mengumpulkan semua pelacur dalam waktu yang sama.
Tapi anehnya mereka menyatakan bentuk pelacuran ini adalah yang dimaksudkan firmannya,

 “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”, seraya merubah ayat tersebut dengan menambahkan, 

 “sampai waktu yang ditentukan.”
Demikian mut’ah menjadi zina yang dihalalkan hingga kepada wanita yang bersuami, bahkan orang yang melakukan ketika mandi diberikan pahala sebanyak rambut kepalanya.[11]
Dalam melakukan sebuah pernikahan tentunya didasari dengan nita yang baik, maka dalam hal ini niat sangat erat kaitannya dalam melakukan sebuah perbuatan. Semisal,.......melakukan akad nikah, tetapi dengan niat nanti mentalaknya, Para ahli fiqh sependapat, bila seorang kawin dengan perempuan tanpa menyebutkan batas waktu tertentu, tetapi didalam hatinya ada niat akan mentalaknya beberapa saat kemudian, atau sesudah urusannya di negeri yang ditinggalinya itu selesai, maka aqad nikahnya sah. Tetapi Imam Auza’i berbeda dengan pendapat ini, beliau menganggapnya sebagai kawin mut’ah.
Syaih Rasyid Ridha mengatakan dalam komentarnya pada tafsir Al-Manar, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf yang sangat keras melarang, sekalipun para ahli fiqh berpendapat bahwa aqad nikah semacam ini hukumnya sah, sekalipun dalam hati berniat kawin sementara, tetapi ketika mengucapkan ijab qabulnya tidak dinyatakannya. Namun dengan menyembunyikan niatan hatinya seperti ini adalah merupakan perbuatan menipu dan mengelabui pihak perempuan yang sepatutnya dianggap lebih batal daripada suatu aqad nikah yang dengan terang-terangan disebutkan syarat sementaranya yang secara bersama-sama disetujui oleh pihak laki-laki, perempuan dan walinya.[12]
 
 DAFTAR PUSTAKA

Ash shiddiqy, Hasbi.1997. Mutiara hadits. Jakarat : Bulan Bintang.
As salus, Ali Ahmad.2001.Ensiklopedi sunnah-syiah. Jakarta : Pustaka Kautsar.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006.Syarah Bulughul maram. Jakarta : Pustaka Azzam.
Sabiq, Sayyid.1978.Fiqh sunah jilid 5. Bandung : PT. Al Ma’arif Al-lu’lu u wal marjan


[1] Al-Lu’ lu’uwal Warjan 2:101, Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 5. (Bandung: PT. Almanaf, 1978). Hlm. 66
[2] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) hlm. 347
[3] Sayyid Sabiq, hlm 64
[4] Sayyid Sabiq, hlm 62
[5] Ibid, hlm 65
[6] Ibid, hlm 67
[7] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Hlm 351
[8] Ibid, hlm 350
[9] Ibid, hlm 349
[10] Ali Muhammad as-salus. Ensiklopedi Sunnah-Syiah. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001) hlm.400
[11] Ibid, hlm 404
[12] Hasbi Ash Shiddiqy, Mutiara Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm 175

0 komentar:

 

Rifkaaa Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez