A.
KETENTUAN UMUM TENTANG KEWARISAN
1.
Pengertian macam-macam ahli waris, sebab
halangan warisan
Mawaris adalah menggantikan hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban
di bidang hukum kekayaannya saja. Fungsi dari yang mewariskan yang bersifat
pribadi atau yang bersifat hukum keluarga (misalnya suatu perwalian) tidaklah
beralih.
Pewarisan adalah pemindahan harta yang dimiliki
seseorang yang sudah meninggal kepada pihak penerima yang jumlah dan ukuran bagian
(nasab) yang diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme waisat.
2.
Beberapa istilah dasar dalam pewarisan
Ø
Pewaris yakni : orang yang meninggal dunia dan
karenanya para ahli warisnya berhak menerima harta peninggalannya.
Ø
Ahli waris / waris yakni : yang berhubungan
kekerabatan dengan si pewaris dengan si pewaris dengan salah satu sebab
pewarisan.
Ø
Harta warisan / harta peninggalan yakni : harta
atau hak yang dapat dipindahkan dari pewaris kepada ahli warisnya.[1]
3.
Beberapa kewajiban berkaitan dengan harta
warisan
Apabila seseorang meninggal dunia, maka pertama-tama
yang harus didahulukan berkaitan dengan harta peninggalannya secara urut, adalah :
a)
Penyelenggarana jenazahnya
Yaitu menyisihkan sebagian hartanya untuk membeli harga kafan yang
diperlukan, upah memandikannya, mengafaninya, menggali kubur untuknya.
b)
Membayarkan
hutang-hutangnya.
Termauk dalam hal ini utang-utangnya kepada Allah SWT seperti utang
zakat, kafarat, dan sebagainya.
c)
Melaksanakan wasiatnya.
Yaitu paling banyak sepertiga dari peninggalannya.
d)
Pembagian harta peninggalannya.
Sesudah semua kewajiban tersebut dilaksanakan barulah sisa harta
peninggalannya dibagikan kepada para ahli waris, sesuai dengan bagiannya
masing-masing.
e)
Yang terutama hak yang bersangkutan dengan harta
seperti zakat dan sewanya. Hak ini hendaklah diambil lebih dari jumlah harta
sebelum di bagi-bagi kepada ahli waris.[2]
4.
Sebab-sebab pewarisan
1)
Hubungan
kekeluargaan (nasab hakiki).
dalam (QS. An-Nisa : 7).
Artinya :
“Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan”.
2)
Hubungan
pernikahan.
dalam (QS. An-Nisa : 12).
Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun”.
3)
Hubungan antara budak yang telah dimerdekakannya.
Sabda : “Wala’ (hubungan antara majikan yang memerdekakan budak dan
budaknya itu) disamakan dengan hubungan nasab, tidak diperjualbelikan dan tidak
dihibahkan”. (HR. Ibn Khuzaimah, Al-Hakim dan Ibn Hibban).
4)
Hubungan Islam, orang
yang meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya yang tertentu, maka harta
peninggalannya diserahkan ke Baitul Mal untuk umat Islam dengan jalan warisan.[3]
5.
Persyaratan Sahnya Pewarisan
Sahnya pewarisan bergantung pada 3 hal :
a.
Kepastian akan kematian si pemilik harta peninggalan,
baik dengan kematian secara yakin ataupun berdasarkan keputusan hakim berkaitan
dengan orang yang dianggap hilang.
b.
Kepastian akan masih hidupnya si ahli waris setelah
kematian si pemilik harta peninggalan. Apabila tidak diketahui secara pasti
tentang masih hidup atau tidaknya si ahli waris setelah kematian si pemilik
harta peninggalan seperti dalam keadaan korban kebakaran, kebanjiran, tertimbun
rumah yang hancur, maka tidak ada pewarisan di antara mereka. Dalam hal ini,
harta peninggalan masing-masing mereka dibagi di antara keluarganya sendiri
yang masih hidup.
c.
Tidak adanya salah satu di antara penghalang pewarisan.
B.
MACAM-MACAM AHLI WARIS
1.
Dzawil Furudl (Dzawul Fara-id)
Dzawil fudul adalah ahli waris yang mendapat bagian
tertentu dalam keadaan tertentu.
Yang termasuk dzawil furudl di antaranya :
1)
Anak perempuan tunggal
2)
Ibu
3)
Bapak
4)
Duda
5)
Janda
6)
Saudara laki-laki (dalam hal kafalah)
7)
Saudara laki-laki dan saudari bersyirkah (dalam hal
kafalah)
8)
Saudara (dalam hal kafalah)
9)
Cucu perempuan dari putra
10) Kakek
11) Nenek
12) Saudara
seayah
Di antara kedua belas waris tersebut, sebagian ada
yang berkedudukan sebagai dzawil furudl. Mereka yang berkedudukan bukan sebagai
dzawil furudl antara lain : anak perempuan, bapak, saudara laki-laki dan
saudari (perempuan).
2.
Ashabah
Ahli waris ashabah ialah ahli waris yang tidak
ditentukan bagiannya, kadangkala mendapat bagian sisa (kalau ada dzawil
furudl). Kadangkala tidak menerima sama sekali (kalau tidak ada sisa), tetapi
kadang-kadang menerima seluruh harta (kalau tidak ada dzawil furudl).
Ahli waris yang termasuk dalam kelompok ashabah ini
dapat digolongkan pada tiga macam :
a.
Ashabah bin Nafsi yaitu kelompok ashabah dengan tanpa
di tarik oleh waris ashabah yang lain atau hak bersama-sama dengan ahli waris
lain sudah menjadi ahli waris ashabah.
Termasuk dalam kelompok ini adalah putra (anak laki-laki), cucu laki-laki
dari putra, saudara sekandang atau seayah dan paman.
b.
Ashabah bil ghairi yaitu seorang ahli waris untuk
menjadi ahli waris ashabah harus ditarik oleh ahli waris ashabah yang lain.
Seperti anak perempuan (ditarik menjadi ashabah oleh anak laki-laki), cucu
perempuan di tarik oleh saudara kandung
atau seayah.
c.
Ashabah ma’al ghairi yaitu ahli waris yang menjadi
ashabah karena bersama-sama dengan yang lain. Misalnya saudari kandung atau seayah
karena bersama-sama putri.
Secara keseluruhan ahli waris yang termasuk ashabah
ini, yaitu :
1.
Anak laki-laki / putra.
2.
Cucu laki-laki dari putra terus ke bawah asal saja
pertaliannya masih terus laki-laki / bapak.
3.
Bapak
4.
Kakek dari pihak bapak dan terus ke atas asal
pertaliannya belum putus dari pihak bapak.
5.
Saudara seibu
6.
Saudara sebapak
7.
Putra saudara sekandung
8.
Putra saudara sebapak
9.
Paman yang sekandung dengan bapak
10. Paman
sebapak dengan bapak
11. Putra
paman yang sekandung yang bapak
12. Putra
paman yang sebapak dengan bapak
Sedangkan pihak perempuan yang
menjadi ashabah, yaitu :
13. Saudari
sekandung di tarik oleh saudara sekandung
14. Saudari
seayah yang ditarik oleh saudara seayah
15. Putri
yang ditarik oleh putra
16. Cucu
perempuan yang ditarik cucu laki-laki dari putra
Kemudian di tambah lagi dengan :
17. Saudari
kandung
karena bersama-sama putri
18. Saudara
seayah karena sama-sama putri.
3.
Dzawil Arham
Dzawil arham atau dzul arham adalah orang-orang yang dihubungkan nasabnya dengan
pewaris karena pewaris sebagai leluhur yang menurunkannya.
Mereka yang termasuk dzawil arham ini dipilah-pilah
menurut hubungan nasabnya dengan pewaris oleh Fatchurrahman.
a.
Cucu dari putri
b.
Anak cucu perempuan dari putra
Hubungan nasab karena sebagai
leluhur dari pewaris yaitu :
a.
Bapak dan ibu dan kakak dari ibu
b.
Ibu dari ayahnya ibu dan nenek dari bapaknya ibu.
c.
Hubungan nasab ke samping atau keturunan orang tua pewaris.
d.
Anak saudari sekandung, seayah atau seibu.
e.
Putri saudara kandung,
seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.
f.
Putri dari putra saudara sekandung, seayah atau seibu
dan seterusnya ke bawah.
g.
Putra saudara seibu dan seterusnya ke bawah.
h.
Mereka yang dihubungkan nasabnya kepada kedua kakek
dari bapak ibu pewaris.
i.
Saudara ayah seibu, saudari bapak, saudari ibu, dan
saudari ibu sekandung atau seayah atau seibu.
j.
Anak dari orang-orang.
k.
Saudara bapak dari ayah yang seibu, saudari ayah serta
saudari ibu dan saudari ibu dari bapak sekandung atau sebapak atau seibu.
l.
Anak-anak orang yang disebutkan.
m.
Saudara ayah dari bapaknya bapak yang seibu, saudara
seayah dari bapaknya yang seibu.
n.
Anak-anak orang-orang
yang tersebut.[4]
C. SEBAB-SEBAB
KEHALANGAN KEWARISAN
Yang terhalang untuk mendapakan warisan adalah orang yang memenuhi
sebab-sebab untuk memperoleh warisan, akan tetapi dia kehilangan hak untuk
memperoleh warisan. Orang demikian dinamakan mahrum.
Penghalang itu ada 4, yaitu :
a.
Perbudakan
Baik orang
itu menjadi budak dengan sempurna ataupun tidak.[5]
b.
Perbedaan Agama
Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak
kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah dari Usamah bin
Zaid, Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah
yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak menerima warisan dari yang
bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.
c.
Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris
yang dibunuhnya.
- Berbeda negara
Yang dimaksud dengan berbeda Negara ialah berbeda kebangsaannya.
Perbedaan kebangsaan ini tidak menjadi penghalang pewarisan di antara kaum
muslimin, karena seorang muslim itu mewarisi dari seorang muslim, sekalipun
jauh negaranya dan berbeda wilayahnya.[6]
KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas
dapat disimpulkan :
1.
Macam ahli waris :
a.
Dzawil furudl
b.
Ashabah terbagi :
-
Ashabah bin nafsi
-
Ashabah bil ghairi
-
Ashabah maal ghairi
c.
Dzawil Arham
2.
Sebab-sebab kewarisan :
- Hubungan kekeluargaan
- Hubungan pernikahan
- Hubungan antara budak yang telah dimerdekakannya
3.
Sebab-sebab hilangnya warisan :
a.
Perbudakan
b.
Perbedaan agama
c.
Pembunuhan
[1]
Surimi Ahlan Syarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat,
Cet. II, (Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 7.
[2]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta
: At-Tahiriyah, 1954), hlm. 330.
[3]
Sulaiman Rasjid, Ibid, hlm. 332.
[4]
Abdul Ghofar Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Ekonisia, 2005),
hlm. 39-43.
[5]
Zaenudin, Hukum Perdata Islam, Cet. I, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm. 112-113.
[6]
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 12, Cet. I, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm.
260-261.
0 komentar on "Ketentuan Umum tentang kewarisan Islam"
Posting Komentar