Adopsi (attabanni) diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain
sebagai anak sendiri,
Ø Adopsi dalam Islam dan masyarakat
jahiliyah
Tradisi
mengadopsi anak telah terjadi pada zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan
memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan
berhak dibangsakan namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlaku
hukum saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat. Hal itu pernah
terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dengan mengadopsi Zaid bin Haritsah seorang
hamba sahaya yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah kepada Nabi Saw untuk
merawatnya. Lalu karena sayangnya Nabi Saw kepada Zaid, beliau angkat menjadi
anaknya sendiri, sehingga nama Zaid dipanggil oleh orang banyak menjadi Zaid
bin Muhammad. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Turmuzi dan Nasai,
dari Ibnu Umar radhiallahu‘anhu : Tidaklah kami memanggil Zaid bin Harisah
melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Tradisi jahiliyah tersebut tidak dibatalkan dalam Islam secara
keseluruhan, artinya pengangkatan anak orang lain menjadi seperti anak sendiri
tetap dianjurkan dalam Islam, akan tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum
adopsi yang berlaku pada masa jahiliyah, antara lain tidak boleh dinisbahkan
namanya kepada orang tua angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti
mahram (surah. Al-ahzab
: 4-5).
Ø Status
Hukum Anak Angkat
Ada dua status hukum yang terkait
dengan permasalahan anak angkat.
1. Dalam Kewarisan
Dalam Islam ada tiga faktor yang
menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena nasab, perkawinan yang sah,
faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya.
Anak angkat tidak termasuk kedalamnya, dalam arti bukan satu kerabat atau satu
keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang sah
dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena
itu antara dirinya dan orang tua angkatnya itu tidak berhak saling mewarisi
satu sama lain. Jika ia akan mewarisi maka hak waris mewarisi hanya berlaku
antara dirinya dan orangtua kandungnya secara timbal balik.
Namun mengingat hubungan yang sudah
akrab antara anak angkat dan orangtua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat
itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya
terhadap rumah tangga orangtua angkatnya, maka Islam tidak menutup kemungkinan
sama sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orangtua
angkatnya. Caranya adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan
oleh ayah angkatnya sebelum meninggal dunia. Ketentuan wasiat untuk Hukum Islam
adalah paling banyak sepertiga harta warisan. Dalam hibah dan wasiat tidak
ditentukan secara khusus siapa saja yang berhak menerimanya. Dalam suatu hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqas
dinyatakan tentang kebolehan wasiat sepertiga dari harta peninggalan.
2. Dalam Perkawinan
Dalam Islam juga telah diatur siapa
saja yang dilarang menikah satu sama lain. Larangan ini hanya berlaku bagi yang
memiliki hubungan darah atau satu keluarga dari garis lurus ke atas dan ke
bawah serta garis menyamping, termasuk mertua, menantu, dan anak tiri yang
ibunya telah digauli oleh anak tirinya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah
satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orangtua angkatnya.
Oleh karenanya secara timbale balik antara dirinya dan keluarga orang tua
angkatnya boleh saling saling kawin dan orangtua angkatnya tidak bisa menjadi
wali nikahnya, kecuali kalau memang diwakilkan kepadanya oleh ayah kandungnya,
Demikian menurut Fuqaha.
0 komentar on "Adopsi (Attabanni) dalam Islam"
Posting Komentar