BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Alhamdulillahi robbil
‘alamin washolatu wassalamu ‘ala asyrofil anbiya wal mursalin sayyidina wa
maulana muhammadinil awwalin wa’ala alihi wa ashabihi ajma’in amma ba’du.
Segala puji bagi Allah
dengan rahmat-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Zihar semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penyusun sebagai sarana pengalaman dan pengetahuan serta untuk
teman- teman semua yang membacanya. Amin.
Pada
pembahasan makalah kali ini akan dibahas rumusan masalah diantaranya:
a. Ayat,
terjemah dan tafsir QS. Al-Mujadilah : 2, 3,dan 4
b. Asbab
An-Nuzul
c. Kandungan
Hukum
d. Pembahasan
mengenai zihar, meliputi definisi, muqaranah madzahib, syarat dan rukun zihar,
akibat hukum dari zihar, serta kafarat zihar.
BAB
II
PEMBAHASAN
v
Tafsir
Kata
yudzoohiruuna terambil dari kata dzohara
Yaitu punggung. Istri yang digauli
diibaratkan dengan yang ditunggangi.[1]
Hakikat
zihar adalah menyerupai punggung yang satu dengan punggung yang lain, dan yang
menjadi tolak ukur dari hukum zihar di sini adalah penyerupaan punggung yang
halal (punggung istri) dengan punggung yang haram (punggung ibu). Oleh karena
itu para fuqaha’ sepakat bahwa barangsiapa yang berkata kepada istrinya, “Kamu
bagiku sudah seperti punggung ibuku,” maka ia disebut sebagai muzahir (orang
yang melakukan zihar).[2]
Min
nisaaihim
dari istri- istri mereka, adapun yang sah melakukan zihar adalah para suami
terhadap istri- istri mereka. Sedangkan wanita tidak bisa melakukan zihar. Hal
ini didasarkan pada ijma ulama, Ibn Arabi berkata ; cerai, akad, menghalalkan
atau mengharamkan di antara suami istri berada mutlak di tangan suami, dan
istri tidak memiliki daya apapun, demikian sudah menjadi kesepakatan ulama.
Walladziina
yudzaahiruna min nisaaihim
Kalimat ini merupakan mubtada’
sedangkan khobarnya adalah fatahriiru
roqqobah maka wajib
atasnya memerdekakan seorang budak.
Tsumma
ya’uuduuna mereka hendak menarik kembali, kembali dalam arti jima’.
Kata yatamaassa
diambil dari kata massa yang secara harfiah artinya
menyentuh. Kata ini biasa digunakan dalam arti persetubuhan dua alat kelamin
pria dan wanita.
Faith’aamu sittiina miskiinan “ith’am” disini
mengandung makna yang “mengenyangkan”. jadi makanan yang diberikan bukanlah makanan
ringan ataupun sejenis snack.
Asbab An-Nuzul
Diriwayatkan
oleh Al-Hakim bersumber dari Aisyah yang berkata : Sesungguhnya saya pernah
mendengar Khaulah Binti Tsa’labah yang mengadukan suaminya (Aus bin Shamit)
kepada Rasulullah SAW tetapi saya tidak mendengar pengaduannya itu seluruhnya.
Dia berkata “Masa mudaku telah berlalu, perutku sudah keriput sehingga ketika
saya telah tua bangka dan tak akan dapat melahirkan seorang bayi lagi, suamiku
telah menziharku. Ya Allah aku mengadu kepada-Mu. Lalu Allah mendengar
pengaduan wanita tersebut kemudian turun ayat larangan zihar.[3]
Kandungan Hukum
Zihar
asal kata dari az-zahr “punggung”
merupakan salah satu bentuk talaq di zaman jahiliyah.
Jika
seorang suami benci terhadap istrinya, sedangkan sang suami tidak ingin
istrinya ini kawin dengan orang lain, maka ia menzihar istrinya dengan
mengatakan : “Bagi saya kamu seperti punggung ibuku.” Dengan ungkapan ini, di
zaman jahiliyah istri tersebut tidak boleh digauli, statusnya tidak cerai dan
juga tidak bersuami lagi, namun istri ini tetap tidak boleh kawin dengan lelaki
lain. Kemudian datang Islam mengubah hukum zihar ini.
Zihar
berlaku untuk setiap istri, baik yang telah disetubuhi maupun yang belum,
bagaimanapun keadaan istri tersebut asalkan ia dapat dijatuhi talaq.[4]
· Zihar Dalam Muqaronah Madzahib
Ulama madzhab
Hanafi mendefinisikan zihar dengan ungkapan seorang suami kepada istrinya yang
menyerupakan istrinya dengan wanita yang haram dinikahinya untuk selamanya, seperti
ungkapan : “bagi saya kamu sama de ngan punggung ibuku atau saudara
perempuanku.” Dari definisi ini Ulama madzhab Hanafi mengatakan, jika yang
disamakan itu adalah anggota tubuh orang yang haram dinikahi untuk sementara
waktu (bukan ntuk selamanya), seperti saudara perempuan istri atau bibinya,
maka hal itu tidak termasuk zihar, karena bibi atau saudara perempuan boleh
dinikahi apabila istri tersebut sudah meninggal atau dicerai.
Ulama Malikiyah
mendefinisikan zihar dengan ungkapan seorang lelaki muslim (mukallaf) yang
menyerupakan istrinya dengan wanita yang haram dinikahi, baik yang bersifat
haram permanen atau sementara. Menyamakan istri dengan ibu, tanpa menyebutkan
bagian anggota tubuh tertentu termasuk zihar bagi mereka, contoh: “Kamu ini seperti
ibuku.” Demikian juga apabila yang disamakan itu bagian anggota tubuh orang
yang haram dinikahi dengan anggota tubuh istri, seperti ungkapan : “Tangan,
punggung, paha, dan kakimu.”
Definisi ulama
Madzhab Syafi’iyah dan ulama Hanabillah sama dengan pernyataan yang dikemukakan
madzhab Hanafi, yaitu menyamakan istri dengan wanita yang haram dinikahi untuk
selamanya, baik dari jalur nasab, seperti ibu dan saudara perempuan sepersusuan.[5]
· Rukun dan Syarat Zihar
Rukun
zihar menurut ulama Hanafiyah ada satu, yaitu lafal yang menunjukkan zihar,
seperti ungkapan: “Bagi saya kamu seperti punggung ibuku”. Adapun ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah menyatakan bahwa rukun zihar ada empat.
Diantaranya:
a. Orang
yang men-zihar, yaitu suami muslim, baligh dan berakal (menurut Hanafiyah dan
Malikiyah). Menurut mereka zihar kafir zimmi tidak berlaku. Sedang menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah, orang yang men-zihar adalah orang yang sah talaqnya,
baik muslim maupun kafir, merdeka maupun hambasahaya.
b. Istri
yang di-zihar, Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa yang di-zihar adalah istri
yang sah, dan istri itu masih berstatus istri secara hukum. Seperti istri yang
sedang dalam masa iddah dalam talaq raj’i.
c. Orang
yang diserupakan, adalah ibu atau wanita- wanita yang haram dinikahi selamanya
karena nasab, susuan, atau hubungan semenda.
d. Sighat,
ungkapan/ pernyataan zihar
Ulama
fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan hukum sighat zihar yang secara terus
terang dan yang secara sindiran. Menurut ulama Hanafiyah, lafal zihar yang bersifat
jelas dan terang tidak diragukan lagi keabsahannya dalm men-zihar istri.
Menurut mereka jika lafal yang dipergunakan adalah lafal sindiran, seperti
lafal “Kamu sepeti ibu saya”, hukumnya tergantung pada niat suami. Jika niatan
untuk men-zihar istrinya maka jatuhlah hukum zihar, tetapi jika niatnya sebagai
pujian dan kehormatan, maka tidak termasuk zihar.
Menurut
ulama Malikiyah, lafal yang jelas dalam zihar harus mengandung dua unsur, yaitu
lafal yang digunakan adalah lafal az-zahr
(punggung) dan wanita yang disamakan itu orang yang haram dikawini
selamanya. Adapun lafal sindiran yang tidak mengandung salah satu unsur dari
keduanya seperti yang disamakan adalah tangan, kaki, atau kepala ibu atau
missal dengan ungkapan “kamu seperti ibuku” dengan menghilangkan kata punggung
maka yang demikian hukumnya meenjadi tergantung niat suami.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa lafal yang jelas adalah jika lafal yang
dipergunakan itu tidak menunjukkan pujian atau penghormatan, sedang lafal
sindiran lafal yang mengandung kemungkinan penghormatan suami.Oleh itu mereka
menghukumi lafal sindiran juga tergantung niat suami.
Sedangkan
menurut ulama Hanabilah, lafal yang jelas adalah lafal yang menggunakan kata
az-zahr (punggung) atau al-hurmah (haram), seperti perkataan suami “punggungmu
seperti punggung ibuku” atau “kamu haram bagi saya”. Adapun lafal sindiran
adalah lafal yang mengacu kepada penghormatan atau pujian. Oleh sebab itu,
untuk lafal sindiran tergantung kepada niat suami.
· Akibat Hukum Zihar[6]
Zihar yang memenuhi rukun dan
syarat seperti disebutkan di atas, mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
1. Suami
tidak boleh menggauli istrinya sebelum membayar kafarat, bahkan menurut jumhur
ulama (selain madzhab Syafi’i) termasuk diharamkan mencium, merayu, dan
memandang istrinya dengan nafsu. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah yang
menyatakan : “Jangan engkau dekati dia (istri) sebelum engkau lakukan apa
diperintahkan Allah (bayar kafarat)”. (HR. Ahmad Bin Hanba, Abu Daud,
at-tirmidzi, dan Ibn Majah dari Ibn Abbas). Akan tetapi menurut Syafi’iyah yang
dilarang hanyalah hubungan seksual saja.
2. Istri
berhak menuntut untuk digauli dan berhak juga menolak untuk digauli suaminya
sampai kafarat dibayar suaminya. Di samping itu, hakim berhak memaksa suami
untuk membayar kafaratnya atau menceraikan istrinyayang ia zihar, sedangkan
kafarat ziharnya belum dibayarnya, kemudian ia ingin merujuk istrinya, ia wajib
membayar kafarat zihar sebelum
menggauli. Pendapat ini dikemukakan oleh
Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Rusyd
dari Madzhab Maliki.
· Kafarat Zihar
Dalam
QS Al-Mujadillah ayat 3-4 dijelaskan bahwa kafarat zihar adalah memerdekakan
seorang budak, jika tidak mampu maka puasa dua bulan berturut- turut, dan
apabila tidak mampu juga maka memberi makan sebanyak 60 orang miskin.
Hal
ini juga didasarkan atas Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
“Kafarat ini diwajibkan atas suami sebelum ia kembali kepada istrinya”. Akan
tetapi, dalam menafsirkan kata “kembali” terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengartikan sebagai “keinginan untuk
melakukan hubungan suami istri (jimak)”. Ulama Hanabilah mengartikan “melakukan
jimak”. Sementara Ulama Syafi’iyah mengartikan “menahan istrinya beberapa waktu
yang memungkinkan suami mentalak istrinya.
Kafarat
zihar tersebut harus dilaksanakan secara berurutan. Artinya, kafarat pertama
yang harus diusahakan suami adalah memerdekakan budak. Jika ia tidak mampu,
baru berpuasa dua bulan berturut- turut. Apabila suami juga tidak sanggup
berpuasa dua bulan berturut- turut, barulah boleh member makanan 60 orang
miskin (sekali makan).
Apabila
suami melakukan hubungan seksual dengan istrinya sebelum membayar kafarat, maka
ia berdosa karena melakukan hubungan seksual disaat istrinya tersebut masih
haram digaulinya. Oleh sebab itu, kafarat tetap menjadi hutang baginya.
Terdapat
perbedaan pendapat ulama, apabila suami tersebut melakukan seksual dengan istri
yang di-ziharnya di saat ia belum lunas membayar kafarat. Misalnya kafarat yang
ia bayar adalah puasa dua bulan, namun sebelum habis utang puasanya, ia
menggauli istrinya atau ia menggauli istrinya disaat ia belum lunas member
makan 60 orang miskin. Menurut ulama Madzhab Maliki, dalam kasus seperti ini
suami tersebut berdosa dan ia wajib membayar kafaratnya dari awal.
Menurut
ulama Syafi’i perbuatan menggauli istrinya tersebut berdosa akan tetapi tidak
menggugurkan puasa atau member makan
yang telah dibayarkan sebelum melakukan jimak. Ulama madzhab Hanafi dan Hanbali
berpendapat bahwa jika kafarat yang dibayar adalah puasa, lalu ia gauli
istrinya sebelum lunas puasanya maka ia wajib mengulang puasanya dari awal.
Apabila kafarat yang dibayarkan adalah member makan 60 orang misskin, lalu ia
gauli istrinya sebelum kafaratnya tersebut selesai secara sempurna maka ia
tidak wajib baginya mengulang member makan dari awal.
Artinya,
jmak dalam masa pembayaran kafarat dengan member makan 60 orang miskin tidak
merusak kafarat tersebut, karena ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang
pemberian makan 60 orang miskin itu tidak mengaitkannya dengan kalimat “sebelum
digauli”. Lain halnya untuk memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-
turut, dalam ayat dikaitkan dalam ayat dikaitkan dengan kalimat “sebelum
digauli”.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Apabila sesorang suami
berkata pada istrinya : “kamu seperti punggung ibuku” hal ini dihukumi zihar
padanya. Karena menyamakan punggung yang halal dinikahi dengan punggung orang
yang haram dinikahi.
Apabila seorang suami
men-zihar istrinya, maka ia tidak boleh menggauli istrinya tersebut sebelum
membayar kafarat (denda) zihar. Ayat diatas menunjukkan bahwa zihar yang sah
itu hanyalah dari pihak suami, bukan dari pihak istri. Menurut ulama fiqh
selain Imam Ahmad bin Hanbal, hukum zihar yang ditunjukkan ayat tersebut hanya
untuk suami. Jika istri men-zihar suaminya, maka hukun zihar itu dianggap sama
sekali tidak ada.
Kafarat zihar berupa memerdekakan
seorang budak, jika tidak mampu maka puasa dua bulan berturut- turut, dan
apabila tidak mampu juga maka memberi makan sebanyak 60 orang miskin.
Menurut
ulama Hanafiyah rukun syarat zihar hanya satu, yaitu lafal yang menunjukkan
zihar, Adapun ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah menyatakan bahwa
rukun zihar ada empat. Diantaranya:
a. Suami
yang men-zihar, tentunya muslim, baligh dan berakal
b. Istri
yang di-zihar
c. Orang
yang diserupakan,
d. Sighat,
ungkapan/ pernyataan zihar
Adapun
dari paparan makalah dapat diambil kesimpulan bahwasanya sebagai manusia biasa sekiranya
harus selalu berhati- hati dalam ucapan maupun perbuatan, karena setiap
tindakan manusia tidak terlepas dari hukum. Para kaum lelaki yang diberikan
kemudahan pengabulan akad, talaq, dan juga zihar sekiranya harus benar- benar
berhati- hati dalam menjaga lisan, terlebih ketika sedang marah dengan
istrinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Syihab,
M.Quraisy. Tafsir Al-Misbah.2002.Jakarta
: Lentera Hati
Assuyuti,Jalaluddin.Lubabun Nuzul Fi Asbabun Nuzul.1986.surabaya:Daarul
Ihya
Al-Hifnawi,
M.Ibrahim.Tafsir Al-Qurtubi Terjemah.2008.jakarta:
Pustaka Azzam
Ensiklopedi
Hukum Islam Jilid VI.2003.
Jakarta:
0 komentar on "Dzihar dalam Islam ( Makalah Tafsir QS.AL-MUJAADILAH AYAT 2 - 3 – 4)"
Posting Komentar