Minggu, 29 April 2012

PERBEDAAN MADZHAB DAN SEBAB-SEBABNYA

Diposting oleh Anonim di 21.23

        A.    Perbedaan Madzhab dan Sebab-sebabnya
Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing [1].
Pada masa era tabi’in dan tabi’at-tabi’in ada beberapa daerah yang di kenal sebagai daerah sebagai pusat pemikiran yakni Irak (Kufah dan Basrah), Hijaz ( Madinah dan Makkah), Syiria. Namun dalam buku-buku sejarah yang ada,  jejak syiria kurang di jelaskan di daerah mana saja aliran itu  berkembang, Setiap kota-kota tersebut memiliki pemimpinnya sendiri yang menjadi panutan pendapat yang memberikan sumbangaan pada perkembangan pemikiran hukum didaerah tersebut. Diantaranya sebagai berikut :
Makkah           : ‘Atha bin Abi Rabah (w.114 H).
                          ‘Amr bin Dinar (w.126 H).
Madinah          : Sa’id bin al-Musyayyib (w.94 H).
                         ‘Urwah bin al-Zubayr (w.93 atau 94 H).
                         Abu Bakar bin ‘Abdul Rahman (w.94 atau 95 H).
                         ‘Ubayd illah bin ‘Abdullah (w.k.l.98 H).
                         Kharijah bin Zayd (w.99 H).
                         Sulayman bin Yasar (w.k.l.107 H).
                        Al-Qasim bin Muhammad (w.107 H).
Mereka itu umumnya dikenal sebagai “tujuh ahli hukum dari Madinah”.
Bashrah           : Muslim bin Yasar (w.108 H).
                          Al-Hasan bin Yasar (w.110 H).
                          Muhammad bin Sirin (w.110 H).
Kufah              : ‘Alqamah bin Qays  (w.62 H).
                           Masruq bin Al-Ajda’ (w.63 H).
   Al-aswad bin Yazid (w.75 H).
  Syurayh bin al-Harits (w.78 H).
Syiria               : Qabisah bin Dzuwayb (w.86 H).
 ‘Umar bin ‘abdul-‘Aziz (w.101  H).
 Makhlul (w.113 H).
Al-Awza’I (w.157 H), pemimpin terakhir dari madzhab Syria.[2]
 Ulama’ Hijaz cenderung lebih di kenal dengan sentra madzhab atau madrasah tradisional atau di sebut pula dengan ahl al- hadist. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan Ibrahim Hosen menjelaskan sebab-sebab mengapa Hijaz cenderung di sebut dengan ahl-hadis :
1.      Mereka cenderung mengikuti pemikiran para pendahulu mereka dari kalangan sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zubair Abdullah bin Amr bin Ash
2.      Mereka terbiasa menghafalkan dan mengamalkan hadist-hadist yang telah ada sebagai solusi dalam menghadapi sebuah permasalahan.
3.      Ulama’ Hijaz hidup pada masa permulaan Islam sehingga masalah-masalah yang ada tidak begitu kompleks, sehingga cukuplah bagi mereka dengan mengacu pada Al_Qur’an  dan sunnah Rasul [3].
Beda Ulama’ maka beda pula kecenderungan berfikirnya, apabila ulama’ hijaz di sebut dengan ahl-hadist dan sedikit sekali menggunakan ra’yu maka sebaliknya ulama’Irak di kenal dengan ahl-ra’yi  yaitu orang-orang atau golongan hukum dalam menetapkan hukum selain berpegang pada Al-Qur’an atau Hadist, Nabi juga mempergunakan akal pikiran atau ijtihad, mereka berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu banyak yang harus dipahami isinya dengan jalan ijtihad, bila ijtihad berpangkal kepada kemampuan berfikir tidak dipergunakan maka hukum islam tidak akan berkembang , daerah islam makin luas, pesoalan-persoalan kehidupan dnia makin kompeks, perlu dihadapi dan diatur selain langsung dengan ketentuan-ketentuan al-Qrur’an  dan hadist, juga dengan kemampuan ijtihad yang tidak lepas dari dasar pokok yaitu Al-Qur’an dan Hadist[4]. Fakto-faktor penyebabnya sebagai berikut :
1.      Mereka lebih banyak mengikuti pemikiran guru-guru terdahulu yang banyak menggunakan ra’yu seperti  Abdullah bin Mas’ud yang mniru dalam banyak hal kepada Umar bin Khatab.
2.      Ulama’ Irak m erasa telah cukup dengan hadist-hadist yang telah di bawa  oleh para sahabat yang pergi ataupun  pernah tinggal di Irak, seperti  Ali bin Abi thalib, Abdullah bin Mas’ud, dll.
3.      Irak merupakan daerah rawan gejolak politik, sehingga para ulama’ Irak akan lebih selektif dalam memilih hadist.
4.      Irak adalah kota yang multi budaya dan multi peradaban, hal ini di sebkan karena banyaknya peninggalan adat istiadat dari budaya Persia, Romawi, Yunani, sehingga kehidupan masyarakatnya lebih beragam. Hal ini yang menjadikan salah satu alasan ulama’ Irak menggunakan ra’yu , dimana jumlah hadist yang sangat terbatas dan tidak semua permasalahan yang di hadapi oleh masyarakatnya di temui titik temunya dalam hadist.

B.     Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Khilafiyah
Karena sumber-sumber hukum (islam) pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-Qur’an, al-sunnah, dan ijtihad sahabat (termasuk : Qiyas, Ra’yu, dan Ijma’ sahabat), dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam Abbas Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu :

a.       Al-Qur’an, penyebabnya adalah sebagai berikut :
1.      Adanya kontradisi antara sesama nash-nash al-qur’an dan adanya upaya mereka untuk mencegah perentangan itu.
2.      Perbedaan dalam memahami ayat-ayat global.
3.      Sebagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih terhadap makna yang bermaksud kontekstual.
4.      Sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan ataumenganggap nash lain sebagai pengtakhshish-nya, sedangkan yang lain menemukannya.
5.      Perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek pengertian.

b.      Al.Sunnah, seperti diungkapkan oleh waliyullah al-Dahlawi
1.      Sampainya suatu hadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra’yunya.
2.      Mereka sama-sama melihat Nabi SAW (Hadist Fi’liyah), namun sebagian mereka menggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.
3.      Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.
4.      Perbedaan persepsi antara antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (Sunnah Qauliyah).
5.      Perbedaan dalam menentukan ‘illat hukum suatu sunnah.
6.      Perbedaan pemahaman dalam menyikapi beberapa sunah yang saling kontradiksi.


c.       Ijtihad
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra’yu ini tidak bias dilepaskan dari perbedaan yang ada antara mereka berbagai hal termasuk ra’yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan llingkungannya.
Sebagai perbandingan kami cantumkan kutipan dari buku perbandingan madzhab bapak Ali Trigiyatno M.Ag Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami, yaitu :
1.      Ayat-ayat al-Qur’an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah. Sedangkan ayat-ayat yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan lading terjadinya masalah khilafiyah.
2.      Hadist-hadist Nabi saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik zhanni wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni dalalah (petunjuknya masih bersifat dugaan).
3.      Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.
Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa, namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika mereka salah, akan mendapatkan satu pahala.
C.      Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab
1.      Faktor Internal
a.       Karena kedudukan suatu hadist
Suatu hadist yang diterima ditanggapi dengan beragam ada yang meyakini dan ada pula yang meragukan
b.      Karena tidak sampainya suatu wrilayah
Adanya riwayat yang banyak jumlahnya terkadang sering tidak diketahui oleh para imam belum lagi dengan perbendaharaan hadist antara yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama sehingga sering kali riwayat itu tidak sampai yang mengakibatkan kecenderungan berijtihad dengan akal.
c.       Berbeda dalam mengartikan kata-kata nash
d.      Tidak sama dalam menggunakan kaidah ushul dan kaidah fiqhiyyah
Ada Imam yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak. Demikian juga dalam penggunaan ijma’ ahl Madinah, qiyas, maslahat mursalah, istishab, fatwa sahabat dll. Lafadz amr (suruhan) oleh sebagian dipahami sebagai perintah wajib, dan oleh sebagian dipahami sebagai sunah, dan terkadang dipahami dengan makna lain.
2.      Faktor Eksternal
a.       Tidak sama dalam hal perbendaharaan hadist
Banyaknya hadist-hadist yang ada pastilah tidak semua diketahui dan dapat diserbakan keseluruh penjuru kota maka tidak mengherankan pula apabila penguasaan hadist yang satu dengan daerah yang lain berbeda.
b.      Faktor politik
Perpecahan yang terjadi antara kaum muslimin sering kali menimbulkan peperangan yang memasuki wilayah hukum dan teologi.
Hal ini juga dinyatakan oleh Sa’id Musthafa al-khin dalam kitabnya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ sebab perbedaan dalam furu’ yang terpenting adalah :
1.      Adanya perbedaan dalam hal Qira’at.
2.      Tidak sampainya suatu hadist kepada seorang imam dalam sebagian masalah.
3.      Ragu-ragu dalam kedudukan suatu hadist.
4.      Berbeda dalam pehaman dan penafsiran suatu teks.
5.      Adanya lafadz yang mengandung makna lebih dari satu.
6.      Adanya pertentangan antar dalil.
7.      Tidak didapatinya suatu nash dalam sebuah permasalahan.
8.      Berbeda dalam menentukan Qawaid Ushuliyah.[5]
D.    Sikap para Ulama’ terhadap masalah khilafiyah
Al-Hafidh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya “Jami’u bayanil ilmi wa fadlihi” menulis bab khusus, disebut “Bab-u jami’ bayani ma yalzamu-n Nadhira fi ikhtilafil fuqoha” : “Imam Abu Umar menngatakan bahwa dalam masalah ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat :
1.      Pendapat pertama
Khilafiyah merupakan rahmat dan kelonggaran oleh karenanya para sahabat dibolehkan mengambil pendapat salah satunya, ada suatu riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz ra, mengatakan “Saya kurang senang seandainya para sahabat Nabi itu tidak berbeda pendapat. Sebab seandainya Cuma ada satu pendapat saja niscaya orang-orang tidak akan menemui kelonggaran. Para sahabat itu adalah imam-imam yang perlu dicontoh dan diikuti. Karena itu kalau seorang akan mengikuti salah satu diantaranya maka itu merupakan suatu kelonggaran”
2.      Pendapat kedua
Yaitu pendapat imam Malik, Imam Syafi’i, dan murid-murid kedua imam ini, juga imam Laits bin Saad, al-Auza’I, Abu Tsaur, serta segolongan ahli ilmu.
Pendapat ini mengatakan bahwa perbedaan pendapat bila kekuatanya berimbang, maka berarti ada yang salah dan ada yang benar. Kemudian dalam masalah khilafiyah seperti ini kita wajib mencari dalil, baik dari Qur’an, Hadist, Ijma’, maupun Qiyas ; sebab semua ini akan selalu ada. Apabila dalil-dalil itu sama kedudukannya maka kita wajib mengikuti mana yang lebih cenderung kepada Quran dan Hadist. Suatu riwayat  dari Asyhab, ia berkata “Imam malik pernah di tanya mengenai perbedaan pendapat para sahabat, jawabnya,”ada yang benar ada yang salah telitilah saja”.[6]



KESIMPULAN
       Perbedaan madzab sudah terjadi sejak zaman sahabat, hal ini dapat terjadi karena setelah Rasulullah wafat para sahabat tidak ada lagi tempat untuk mengadu permasalahan mereka agar mendapatkan solusi yang tepat, sedangkan tidak semua nash dan hadist menjelaskan permasalahan yang ada, apalagi seiring berjalannya waktu permasalahan yang timbul s4makin kompleks. Namun demikian banyak factor-faktor lain yang mendukung terjadinya perbedaan madzab baik itu factor eksternal maupun faktor internal.
 

DAFTAR PUSTAKA
DR.M.A Bayanuni, Memahami Hakekat Hukum Islam, cet.1, Jakarta: Puataka Azet,1986.

Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005.
Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka  1994.
Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam, Malang : UIN Malang Press, 2008.


[1] Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005, hal.26-27.
[2] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka ’94, hlm.19-20
[3] Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005, hal. 28
[4] Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, jilid 1, hlm.117
[5] Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005, hal. 31-35
[6] M.A Bayanuni, Memahami Hakekat Hukum Islam,cet.1, Jakarta: Puataka Azet,1986, hlm. 77-78.










0 komentar on "PERBEDAAN MADZHAB DAN SEBAB-SEBABNYA"

Minggu, 29 April 2012

PERBEDAAN MADZHAB DAN SEBAB-SEBABNYA


        A.    Perbedaan Madzhab dan Sebab-sebabnya
Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing [1].
Pada masa era tabi’in dan tabi’at-tabi’in ada beberapa daerah yang di kenal sebagai daerah sebagai pusat pemikiran yakni Irak (Kufah dan Basrah), Hijaz ( Madinah dan Makkah), Syiria. Namun dalam buku-buku sejarah yang ada,  jejak syiria kurang di jelaskan di daerah mana saja aliran itu  berkembang, Setiap kota-kota tersebut memiliki pemimpinnya sendiri yang menjadi panutan pendapat yang memberikan sumbangaan pada perkembangan pemikiran hukum didaerah tersebut. Diantaranya sebagai berikut :
Makkah           : ‘Atha bin Abi Rabah (w.114 H).
                          ‘Amr bin Dinar (w.126 H).
Madinah          : Sa’id bin al-Musyayyib (w.94 H).
                         ‘Urwah bin al-Zubayr (w.93 atau 94 H).
                         Abu Bakar bin ‘Abdul Rahman (w.94 atau 95 H).
                         ‘Ubayd illah bin ‘Abdullah (w.k.l.98 H).
                         Kharijah bin Zayd (w.99 H).
                         Sulayman bin Yasar (w.k.l.107 H).
                        Al-Qasim bin Muhammad (w.107 H).
Mereka itu umumnya dikenal sebagai “tujuh ahli hukum dari Madinah”.
Bashrah           : Muslim bin Yasar (w.108 H).
                          Al-Hasan bin Yasar (w.110 H).
                          Muhammad bin Sirin (w.110 H).
Kufah              : ‘Alqamah bin Qays  (w.62 H).
                           Masruq bin Al-Ajda’ (w.63 H).
   Al-aswad bin Yazid (w.75 H).
  Syurayh bin al-Harits (w.78 H).
Syiria               : Qabisah bin Dzuwayb (w.86 H).
 ‘Umar bin ‘abdul-‘Aziz (w.101  H).
 Makhlul (w.113 H).
Al-Awza’I (w.157 H), pemimpin terakhir dari madzhab Syria.[2]
 Ulama’ Hijaz cenderung lebih di kenal dengan sentra madzhab atau madrasah tradisional atau di sebut pula dengan ahl al- hadist. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan Ibrahim Hosen menjelaskan sebab-sebab mengapa Hijaz cenderung di sebut dengan ahl-hadis :
1.      Mereka cenderung mengikuti pemikiran para pendahulu mereka dari kalangan sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zubair Abdullah bin Amr bin Ash
2.      Mereka terbiasa menghafalkan dan mengamalkan hadist-hadist yang telah ada sebagai solusi dalam menghadapi sebuah permasalahan.
3.      Ulama’ Hijaz hidup pada masa permulaan Islam sehingga masalah-masalah yang ada tidak begitu kompleks, sehingga cukuplah bagi mereka dengan mengacu pada Al_Qur’an  dan sunnah Rasul [3].
Beda Ulama’ maka beda pula kecenderungan berfikirnya, apabila ulama’ hijaz di sebut dengan ahl-hadist dan sedikit sekali menggunakan ra’yu maka sebaliknya ulama’Irak di kenal dengan ahl-ra’yi  yaitu orang-orang atau golongan hukum dalam menetapkan hukum selain berpegang pada Al-Qur’an atau Hadist, Nabi juga mempergunakan akal pikiran atau ijtihad, mereka berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu banyak yang harus dipahami isinya dengan jalan ijtihad, bila ijtihad berpangkal kepada kemampuan berfikir tidak dipergunakan maka hukum islam tidak akan berkembang , daerah islam makin luas, pesoalan-persoalan kehidupan dnia makin kompeks, perlu dihadapi dan diatur selain langsung dengan ketentuan-ketentuan al-Qrur’an  dan hadist, juga dengan kemampuan ijtihad yang tidak lepas dari dasar pokok yaitu Al-Qur’an dan Hadist[4]. Fakto-faktor penyebabnya sebagai berikut :
1.      Mereka lebih banyak mengikuti pemikiran guru-guru terdahulu yang banyak menggunakan ra’yu seperti  Abdullah bin Mas’ud yang mniru dalam banyak hal kepada Umar bin Khatab.
2.      Ulama’ Irak m erasa telah cukup dengan hadist-hadist yang telah di bawa  oleh para sahabat yang pergi ataupun  pernah tinggal di Irak, seperti  Ali bin Abi thalib, Abdullah bin Mas’ud, dll.
3.      Irak merupakan daerah rawan gejolak politik, sehingga para ulama’ Irak akan lebih selektif dalam memilih hadist.
4.      Irak adalah kota yang multi budaya dan multi peradaban, hal ini di sebkan karena banyaknya peninggalan adat istiadat dari budaya Persia, Romawi, Yunani, sehingga kehidupan masyarakatnya lebih beragam. Hal ini yang menjadikan salah satu alasan ulama’ Irak menggunakan ra’yu , dimana jumlah hadist yang sangat terbatas dan tidak semua permasalahan yang di hadapi oleh masyarakatnya di temui titik temunya dalam hadist.

B.     Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Khilafiyah
Karena sumber-sumber hukum (islam) pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-Qur’an, al-sunnah, dan ijtihad sahabat (termasuk : Qiyas, Ra’yu, dan Ijma’ sahabat), dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam Abbas Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu :

a.       Al-Qur’an, penyebabnya adalah sebagai berikut :
1.      Adanya kontradisi antara sesama nash-nash al-qur’an dan adanya upaya mereka untuk mencegah perentangan itu.
2.      Perbedaan dalam memahami ayat-ayat global.
3.      Sebagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih terhadap makna yang bermaksud kontekstual.
4.      Sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan ataumenganggap nash lain sebagai pengtakhshish-nya, sedangkan yang lain menemukannya.
5.      Perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek pengertian.

b.      Al.Sunnah, seperti diungkapkan oleh waliyullah al-Dahlawi
1.      Sampainya suatu hadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra’yunya.
2.      Mereka sama-sama melihat Nabi SAW (Hadist Fi’liyah), namun sebagian mereka menggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.
3.      Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.
4.      Perbedaan persepsi antara antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (Sunnah Qauliyah).
5.      Perbedaan dalam menentukan ‘illat hukum suatu sunnah.
6.      Perbedaan pemahaman dalam menyikapi beberapa sunah yang saling kontradiksi.


c.       Ijtihad
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra’yu ini tidak bias dilepaskan dari perbedaan yang ada antara mereka berbagai hal termasuk ra’yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan llingkungannya.
Sebagai perbandingan kami cantumkan kutipan dari buku perbandingan madzhab bapak Ali Trigiyatno M.Ag Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami, yaitu :
1.      Ayat-ayat al-Qur’an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah. Sedangkan ayat-ayat yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan lading terjadinya masalah khilafiyah.
2.      Hadist-hadist Nabi saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik zhanni wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni dalalah (petunjuknya masih bersifat dugaan).
3.      Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.
Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa, namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika mereka salah, akan mendapatkan satu pahala.
C.      Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab
1.      Faktor Internal
a.       Karena kedudukan suatu hadist
Suatu hadist yang diterima ditanggapi dengan beragam ada yang meyakini dan ada pula yang meragukan
b.      Karena tidak sampainya suatu wrilayah
Adanya riwayat yang banyak jumlahnya terkadang sering tidak diketahui oleh para imam belum lagi dengan perbendaharaan hadist antara yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama sehingga sering kali riwayat itu tidak sampai yang mengakibatkan kecenderungan berijtihad dengan akal.
c.       Berbeda dalam mengartikan kata-kata nash
d.      Tidak sama dalam menggunakan kaidah ushul dan kaidah fiqhiyyah
Ada Imam yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak. Demikian juga dalam penggunaan ijma’ ahl Madinah, qiyas, maslahat mursalah, istishab, fatwa sahabat dll. Lafadz amr (suruhan) oleh sebagian dipahami sebagai perintah wajib, dan oleh sebagian dipahami sebagai sunah, dan terkadang dipahami dengan makna lain.
2.      Faktor Eksternal
a.       Tidak sama dalam hal perbendaharaan hadist
Banyaknya hadist-hadist yang ada pastilah tidak semua diketahui dan dapat diserbakan keseluruh penjuru kota maka tidak mengherankan pula apabila penguasaan hadist yang satu dengan daerah yang lain berbeda.
b.      Faktor politik
Perpecahan yang terjadi antara kaum muslimin sering kali menimbulkan peperangan yang memasuki wilayah hukum dan teologi.
Hal ini juga dinyatakan oleh Sa’id Musthafa al-khin dalam kitabnya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ sebab perbedaan dalam furu’ yang terpenting adalah :
1.      Adanya perbedaan dalam hal Qira’at.
2.      Tidak sampainya suatu hadist kepada seorang imam dalam sebagian masalah.
3.      Ragu-ragu dalam kedudukan suatu hadist.
4.      Berbeda dalam pehaman dan penafsiran suatu teks.
5.      Adanya lafadz yang mengandung makna lebih dari satu.
6.      Adanya pertentangan antar dalil.
7.      Tidak didapatinya suatu nash dalam sebuah permasalahan.
8.      Berbeda dalam menentukan Qawaid Ushuliyah.[5]
D.    Sikap para Ulama’ terhadap masalah khilafiyah
Al-Hafidh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya “Jami’u bayanil ilmi wa fadlihi” menulis bab khusus, disebut “Bab-u jami’ bayani ma yalzamu-n Nadhira fi ikhtilafil fuqoha” : “Imam Abu Umar menngatakan bahwa dalam masalah ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat :
1.      Pendapat pertama
Khilafiyah merupakan rahmat dan kelonggaran oleh karenanya para sahabat dibolehkan mengambil pendapat salah satunya, ada suatu riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz ra, mengatakan “Saya kurang senang seandainya para sahabat Nabi itu tidak berbeda pendapat. Sebab seandainya Cuma ada satu pendapat saja niscaya orang-orang tidak akan menemui kelonggaran. Para sahabat itu adalah imam-imam yang perlu dicontoh dan diikuti. Karena itu kalau seorang akan mengikuti salah satu diantaranya maka itu merupakan suatu kelonggaran”
2.      Pendapat kedua
Yaitu pendapat imam Malik, Imam Syafi’i, dan murid-murid kedua imam ini, juga imam Laits bin Saad, al-Auza’I, Abu Tsaur, serta segolongan ahli ilmu.
Pendapat ini mengatakan bahwa perbedaan pendapat bila kekuatanya berimbang, maka berarti ada yang salah dan ada yang benar. Kemudian dalam masalah khilafiyah seperti ini kita wajib mencari dalil, baik dari Qur’an, Hadist, Ijma’, maupun Qiyas ; sebab semua ini akan selalu ada. Apabila dalil-dalil itu sama kedudukannya maka kita wajib mengikuti mana yang lebih cenderung kepada Quran dan Hadist. Suatu riwayat  dari Asyhab, ia berkata “Imam malik pernah di tanya mengenai perbedaan pendapat para sahabat, jawabnya,”ada yang benar ada yang salah telitilah saja”.[6]



KESIMPULAN
       Perbedaan madzab sudah terjadi sejak zaman sahabat, hal ini dapat terjadi karena setelah Rasulullah wafat para sahabat tidak ada lagi tempat untuk mengadu permasalahan mereka agar mendapatkan solusi yang tepat, sedangkan tidak semua nash dan hadist menjelaskan permasalahan yang ada, apalagi seiring berjalannya waktu permasalahan yang timbul s4makin kompleks. Namun demikian banyak factor-faktor lain yang mendukung terjadinya perbedaan madzab baik itu factor eksternal maupun faktor internal.
 

DAFTAR PUSTAKA
DR.M.A Bayanuni, Memahami Hakekat Hukum Islam, cet.1, Jakarta: Puataka Azet,1986.

Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005.
Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka  1994.
Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam, Malang : UIN Malang Press, 2008.


[1] Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005, hal.26-27.
[2] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka ’94, hlm.19-20
[3] Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005, hal. 28
[4] Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, jilid 1, hlm.117
[5] Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005, hal. 31-35
[6] M.A Bayanuni, Memahami Hakekat Hukum Islam,cet.1, Jakarta: Puataka Azet,1986, hlm. 77-78.










0 komentar:

 

Rifkaaa Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez